Rabu, 29 Mei 2013

Truth or Dare

Entah apa yang terlintas dipikiran,
Permainan ini menjadi salah satu keasyikan beberapa saat untuk mengusir kejenuhan.

Gua,
Udah tau, setiap pilihan yang ada itu punya tantangan tersendiri.
Permainan berputar seperti biasa,

Herannya dari dua langkah setelah milih tantangan Truth (Jujur) -- Adrenalin gua malah makin menjadi-jadi.
Sekarang, tepat dibagian ke 3 gua buat milih, antara Truth or Dare.

"Dare",
Kata yang gua pilih,
Serasa laki banget, tapi gua malah jadi takut..

Tantangan pertama,
Ubah display name jadi alays banget; gua lakuin.

"Yelah, gampang gini" dalem hati.

Tantangan dari orang kedua,
Buat deh, tulisan -- aku kangen mantan; berhubung lagi diluar, jadi tantangan ini gua pending dulu.

Dan,
Ditantangan terakhir,
Perasaan gua mulai nggak enak, ternyata bener.
Orang ketiga, ngasih tantangan ke gua buat nembak seseorang yang (sebenernya) lagi gua suka.

Ini tuh nggak adil banget, disaat waktu belum tepat kenapa musti dapet tantangan kaya gini.
Mau nggak mau, gua musti ngungkapin dan beresin tantangannya.

"Kalo udah, lu capture dan kasih liat buktinya"
Antara ragu dan takut,
Itulah pilihan, dimana kita harus ambil resiko terburuk sekalipun.

Langkah awal,

"Hay, de mau ngga jadi pacar kaka?"
Seharusnya, pertanyaan ini tuh bukan sekarang diungkapinnya. bukan.
Tapi gua sedikit lega, soalnya pesan yang gua kirim belum nyampe.

"Hehe pesanya juga pending" kata gua.
"Idih, bohong yah? periksa gih" jawab mereka.

Sewaktu gua periksa,
Pesanya ternyata ke kirim. Gua mati.
Lima menit kemudian, ada pesan balasan.

Gua harap bukan dari dia, ternyata bener. . . . .  dia balaes.
"Ngelindur?" dia nanya.
"He he, nggak"

Disaat itu, gua berdoa semoga dia bales pake bahasa sansekerta biar gua nggak tau jawabannya sama sekali.
Kemudian,
Gua menghela nafas sebentar, lalu mencet tombol-tombol diponsel pake ujung jari. Jadi sekiranya tangan gua lecet, dan gagal nanya. "Kamu, nerima atau nggak?"

UDAH PALING NGGAK ASIK NIH, BENERAN...
Ponselnya gua simpen lagi,
Jelang beberapa saat..

Ada pesan masuk,
Saat gua buka, Isinya..



"Kayanya engga dulu deh kak."
Ada hening sebentar, dan rasanya emang campur aduk.
Disatu sisi gua udah selesai ngejalanin tantangan, dan disisi yang lain gua tau bahwa ditolak gebetan itu PAIT men PAIT.

Bener-bener pelajaran.
Lain kali,
Kalo gue lagi main Truth or Dare, pilihnya Truth aja terus.
Udah sih, gitu aja. ha ha :D 

join with my twitter : https://twitter.com/comeput_soon

Senin, 27 Mei 2013

ALONE (Oneshoot)


Title     : ALONE
Length : Oneshoot
Genre   : Hurt, 
Words   : 6000 Words.

 ----
hope you enjoy. Setel lagu galau yak. Jangan setel Harlem Shake atau lagunya Sule, Mbah Surip, jangan juga setel lagu Gangnam Style.


---


           “Justin…”Aku mengangkat suaraku, memutar bola mataku kearah pria bermata karamel yang duduk dihadapanku. Dia berdeham lantas menatapku lagi dengan pandangan yang menurutku adalah tatapan hangat, lebih hangat dari perapian dimusim dangan. Tatapan yang lembut dan berhasil membuatku tegar untuk bertahan hidup didunia ini. Ya, dia adalah salah satu alasan terbesarku mengapa aku masih bisa mempertahankan sisa-sisa, detik-detik yang sangat berharga untuk tetap bernafas didunia ini bersama dirinya sejak dua tahun yang lalu aku resmi divonis oleh dokter mengidap penyakit meningitis, radang selaput otak.
          “Terimakasih, kau mau menerimaku apa adanya”jawabku lagi menatap kearah bola matanya. Aku bisa menemukan ada tatapan penuh cinta disana. Tatapan yang membuatku berani untuk bertahan. Berusaha berdiri dengan tungkai kakiku sendiri. Maksudku, dia adalah salah satu penopang sekaligus akar yang membuatku kokoh bertahan didunia ini.

          “Aku yang berterimakasih, karena kau masih mau bertahan…untukku”Sebelah jemarinya beringsut mengusap kedua tanganku. Meremasnya dengan lembut dan mengecup telapak tanganku dengan bibirnya yang setipis sari apel. Aku tersenyum lagi, hanya dengan Justin—dia—salah-satu sumber semangatku. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika aku tidak bersama Justin. mungkin, sekarang aku sudah mati tidak mampu bertahan lagi. Dia yang selalu mendukungku, membisikkan kata-kata manis saat aku sudah nyaris diambang kematian. Dia, suamiku yang menemani hidupku selama tiga tahun terakhir ini.

          “Aku tidak akan bisa bertahan, tanpamu”desisku. Justin langsung meletakkan telunjuknya dibibirku kemudian menggeleng perlahan. Lagi dan lagi, tatapan itu benar-benar meluluhlantahkan segala pertahan yang kokoh dalam diriku. “Kau bertahan, karena tuhan masih memberkatimu”tukasnya tegas, dengan intonasi suara sekuat baja. Tanpa ada keraguan atau samar-samar disana. Ya, dia benar-benar sumber penyemangatku. Aku diam, mengigit bibirku dalam-dalam merasakan ada rasa sesak menjalar disekujur dadaku. Sakit, sesak sekali. Aku merasa bahwa aku tidak bisa melaksanakan tugasku dengan baik sebagai istrinya, sebagai pendampingnya. Dia pantas…. Untuk mendapatkan yang lebih baik dari ini.
          “kau sudah terlalu lelah, Justin. Aku tidak mau kau menghabiskan waktu hidupmu untuk mengurusiku. Aku hanya seorag istri yang tidak bisa membahagiakanmu”entah kenapa aku merasakan ada sesuatu yang menggerogoti paru-paruku membuatku susah sekali merasakan oksigen disekitarku. Ada rasa tajam bercampur perih membuat sekitar dadaku begitu ngilu. Pandangannya kembali terarah padaku, bola mata karamelnya yang senada dengan warna madu itu menatapku.

          “Tidak, jangan pernah berpikiran seperti itu. Kau salah, Cady”Jemarinya kembali mengusap helaian rambut sesepuhan tembagaku lantas menyelipkannya disela-sela belakang daun telinganya. Jarinya kemudian menyentuh ujung daguku, mengangkatnya seakan menyuruhku untuk menatap kedua bola matanya yang berpijar hangat. Aku menurut, sama sekali tidak bisa mengelak. Dalam beberapa detik, aku terisak. Wajahku memanas, sekujur pipiku memerah seraya mengigit bibirku keras-keras. Aku merasakan tubuhku gemetar begitu mencoba untuk menguasai diriku agar tidak menangis. Tidak bisa, aku sudah terlalu lama menjadi seorang gadis yang kuat dan pada akhirnya… aku akan menangis. Aku hanya seorang wanita lemah, wanita penyakitan, wanita yang… tidak bisa membahagiakan suamiku sendiri.

          Justin mendekatkan wajahnya, ujung hidungnya menyentuh ujung hidungku. Aku bisa merasakan deruan nafasnya yang hangat dan harum menyerbu dan menyatu dengan nafasku. Bibirnya yang lembut menyentuh permukaan bibirku. Melumatnya hangat, memasukkan lidahnya disela-sela bibirku yang memucat. Aku membalas, sebelah tanganku menarik tengkuknya. Berusaha memperdalam ciumanku dengan air mata yang masih mengalir dikedua kelopak bola mata biruku. Justin mengigit bagian bibir bawahku, menyatukan jiwanya—seakan—menegaskan padaku bahwa ada dirinya yang selalu berada disisiku. Selamanya.

          Selama setengah menit, dia masih berusaha melumat bibirku lembut kemudian langsung menjauhkan wajahnya saat paru-parunya mulai kehabisan nafas. Dia mengangkat wajah, menatapku dengan nafas tersenggal. “Jangan katakan hal itu lagi, aku tidak mau mendengarmu mengatakan kata-kata seperti itu”Ujarnya lagi tegas seakan mengingatkanku untuk terakhir kali. Tidak, tidak bisa. Aku tidak akan membiarkan Justin seperti ini, menghabiskan sebagian hidupnya bersama orang sepertiku. Aku tidak pantas untuknya. Selamanya, aku tidak akan pantas. Aku tidak bisa mengurus Justin selayaknya seorang istri yang baik, aku hanya bisa merepotkannya, membuatnya susah sekaligus kerepotan.

          “Sebaiknya, kau ceraikan aku. Justin”dengan susah payah seakan ada sesuatu yang mengganjal dikerongkonganku. Sekuat tenaga, aku berusaha mengatakannya. Bola mataku memerah, berair. Aku merasakan kelopak mataku memanas dan perlahan-lahan menumpahkan setetes air dari sana. Dia sama tercekatnya, bola matanya lantas menatapku tajam. Marah dan dingin, untuk pertama kali. “Cady! Apa yang kau katakan?”Gertaknya dengan nada tajam, emosi dan menohok. Aku menundukkan wajahku dalam-dalam, berusaha untuk tidak menatap langsung bola matanya yang terbakar karena kata-kataku. Maaf Justin, aku sama sekali tidak pantas untukmu. Aku hanya seorang wanita penyakitan yang menunggu diambang kematian.

          “Kau berhak bahagia, Justin. Demi tuhan, aku merasa tertekan menjadi istrimu. Aku tidak bisa membuatmu senang, mengurusmu atau membuatmu tersenyum.. aku hanya bisa merepotkanmu, membuang waktumu untuk mengurusku”Jawabku lagi, kali ini aku benar-benar serius. Rasanya ada sesuatu yang bergejolak dalam perutku, seperti bebatuan beku yang mengocok-ngocok keras membuat sekujur dinding lambungku menjadi ngilu. Dia menggeleng tangkas, kelewat cepat seakan menegaskanku untuk diam.

          “Tidak, dengan kau ada disisiku itu sudah cukup. Aku sudah merasa sangat bahagia dan laki-laki yang paling beruntung didunia karena sudah memilikimu”ujarnya, dadaku bergetar lagi saat mendengar jawabannya. Kenapa, kenapa dia mengatakan itu padaku? Kenapa? Kenapa, dia tidak langsung menceraikanku. Tuhan, aku tidak ingin melihatnya menderita.

          “kau sudah banyak menghabiskan uang untuk pengobatanku, dan apa hasilnya? Aku masih tidak bisa sembuh..”Justin menggeleng lagi, tangannya kembali mencekal pergelangan tanganku dengan keras. Aku memejamkan mataku, tidak bisa menatap wajahnya. Tidak, tidak bisa. Ada sesuatu yang mengganjal perasaanku saat aku berusaha memandang bola matanya. Perasaan bersalah, yang semakin hari makin menjadi-jadi. Bertambah tiap detik dan membuatku menjadi wanita paling kejam didunia ini.

          “Aku masih bisa membiayai seluruh pengobatanmu! Jangan pernah mengatakan hal itu, padaku”Teriaknya kali ini dengan penuh emosi. Dia mencengkram tanganku keras-keras. Aku terdiam lagi, tubuhku bergetar begitu mendengar kata-katanya. Aku tahu, dia bisa mengobati seluruh pengobatanku. Aku sangat tahu, banyak bisnis dan uang yang dapat dia dapatkan tapi tidak dengan kebahagiaan. Aku merasa, bahwa dia seakan menderita disisiku. Semua bohong, sangat bohong jika Justin bilang dia merasa bahagia disisiku.
          “ceraikan aku, Justin”
          “Cady!”Aku gemetar lagi, pergelangan tangannya mencekalku lebih erat. Ibu jari dan telunjuk tangannya langsung beringsut kembali mengangkat daguku. Mau tak mau, memaksaku untuk menatap kedua bola mata karamelnya yang kali ini terlihat memerah dan berair. Justin menangis, karenaku. Ya tuhan. Jangan menangis, Justin. Jangan menangis. Jangan menangis, kau sama sekali tidak pantas menangisi istri sepertiku. Dia kembali menarikku kedalam pelukannya, didalam pelukan paling nyaman didunia. Pelukan yang benar-benar berhasil membuatku sejenak melupakan masalahku, melupakan perasaan tertekan yang sudah lama menderaku.

          Aku menangis, ikut terisak didalam dadanya. Merasakan aroma tubuh yang selalu membuatku nyaman.
“Justin, aku… aku…aku ingin kita cerai”
          “Shut the fuck up, aku tidak ingin kau mengatakan hal itu padaku lagi”Gertaknya tajam, membuatku tersentak dan langsung menjauhkan tubuhku dari dalam dekapannya. Aku terisak lagi, merasakan sekujur tubuhku dalam beberapa detik berubah menjadi batu yang beku. Mengelu, lumpuh semu seakan seluruh rangkaku ingin terlepas dari sendi-sendinya. “Justin! jangan bohongi perasaanmu, aku tahu kau tersiksa disebelahku. Kau tersiksa, didekatku. Aku tahu… kau mengeluh menjadi seorang suami dari istri penyakitan sepertiku”Dia menggeleng cepat. Kembali mengelak, berusaha meyakinkanku untuk percaya padanya. Ya, aku tahu dia mencintaiku. Aku tahu, dan aku juga mencintainya. Sangat…

          “Aku ingin kau menikah dengan Ariana”ujarku bersusah payah berusaha mengendalikan tangisku. Dia terkejut, bola matanya langsung berpijar menatapku nanar. Dengan kuat, aku mengigit bibirku hingga menimbulkan bercak putih memucat disana. Jangan menangis, Cady. Jangan menangis. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Dia berhak bahagia, dan kurasa Ariana Adolfo adalah gadis yang paling cocok untuknya. Mereka, dulu sempat saling mencintai—ya—mereka pernah berpacaran dulu lalu putus karena Ariana berselingkuh dengan Sam, sahabat Justin. Dan Justin akhirnya berpaling padaku hingga akhirnya memutuskan untuk menikah, tentunya bersamaku. Tapi hingga sekarang aku masih yakin, ada cinta yang tersembunyi, masih tetap tersimpan didalam hati Justin untuk Ariana.

          “Kau gila, Cady! Kau gila!”Emosinya lagi menyembur, menatapku dengan amarah menggelegak. Aku menggeleng cepat. “dulu, kalian seharusnya berjodoh. Seharusnya kau sudah menikah dengan Ariana, tapi karena… karena aku. Aku menjadi penghalang kalian untuk tidak bersatu”lanjutku terbata-bata. Air mataku sudah meluap, wajahku memanas dan memerah. Aku bisa merasakan kelopak mataku membengkak karena terlalu banyak menangis.

          “Tidak, aku tidak akan mengikuti permintaanmu”tegasnya lebih keras lagi. Begitu jelas, membuatku tersentak. Aku mengerang, merasakan tiba-tiba sekujur bagian kepalaku ngilu, ada sesuatu yang menusuk-nusuk bagian selaput otakku. Aku berteriak kesakitan lantas jatuh tersungkur dari atas ranjang. Aku meirngkuk, sebelah tanganku menyentuh bagian ubun-ubunku merasa seakan-akan ada satu ton batu yang memukul keras kepalaku. Justin terkejut, dia beranjak bangkit dari atas kursi dan menepuk pelan pipiku. Aku mengigit bibirku keras-keras, berusaha kuat, untuk bangkit.

          “Justin…. sakit”Aku kembali mengerang, Justin langsung menggeleng lantas mengambil ponselnya didalam saku untuk menelpon dokter. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu, karena selanjutnya yang berkelebat dibenakku hanyalah wajah Jusin, senyumnya, wajahnya, berubah menjadi ilusi berputar-putar lantas hanyut menjadi gelap. Tak berujung, tanpa bekas sedikitpun.
****

          “Cady, hentikan ucapanmu!”Justin menggertak. Pagi ini, keputusanku sudah bulat. Setelah bangun dari pingsanku semalam. Aku langsung menemui Justin dan kembali membicarakan keinginanku kemarin siang. Aku ingin, dia menceraikanku atau jika dia memang tidak ingin menceraikanku, berarti langkah kedua yaitu dia harus menikahi Ariana. ya, aku rela untuk diduakan olehnya. Demi kebahagiaan Justin, demi orang yang aku cintai. Justin membasahi bibirnya kemudian menatapku tegas.

          “Keputusanmu terlalu beresiko, aku tidak ingin menceraikanmu”
          “dan, kalau begitu kau harus menikahi Ariana jika kau tidak ingin menceraikanku”
          “Cady! Aku tidak bisa, aku tidak bisa melakukan kedua permintaanku”teriaknya emosi, aku terdiam kemudian berusaha mengambil nafas dalam-dalam. Berusaha untuk melegakan sesak yang sejak kemarin mengganjal diparu-paruku. “Justin, aku mohon. Kabulkan permintaan terakhirku, sebelum aku benar-benar tidak ada didunia ini lagi. Jangan buat aku meninggal dengan kondisi menyesal seumur hidup karena tidak bisa membuatmu bahagia”Justin menggeleng cepat, menangkas semua argumentasiku. Dia berinterupsi, menatapku tajam seakan memberikan teguran entah untuk yang keberapa kali. Mungin, kesekian kali atau ratusan kali.

          “aku mohon, Justin. Aku mohon”aku berusaha menatap kedua bola matanya yang menatapku nanar, berusaha memohon agar dia mau memenuhi permintaanku. Aku tahu, ini memang berat. Aku memang hanya ingin Justin menjadi milikku, tapi ada sebelah sisi dari hatiku memberontak seakan mengatakan bahwa aku adalah wanita paling kejam didunia karena mau mempertahankan pria sempurna seperti Justin untuk hidup bersama orang sepertiku. Tidak ada yang bisa kulakukan, aku tidak bisa membuatnya tersenyum bahagia. Aku hanya bisa berjalan sakit-sakitan, rentan dan rapuh. Aku benar-benar gadis lemah, kurasa.

          “aku tidak bisa”
          “Kau masih mencintai Ariana, jangan bohongi perasaanmu. Dia cinta pertamamu, iyakan?”
          “Dia memang cinta pertamaku, tapi bukan berarti dia adalah cinta terakhirku. Kau adalah cinta terakhirku, Cady”ujarnya sembari mengenggam kedua tanganku, merengkuhnya dengan hangat dan meletakkan kedua jemariku didepan dadanya. aku terdiam, terhenyak akan kata-katanya yang kembali lagi membuatku menjadi wanita paling merana didunia ini. “Terakhir kalinya, aku memohon, aku meminta agar kau menepati permintaanku. Justin, aku ingin membuatmu bahagia. Itu saja”dia menggeleng cepat.

          “Justin! kalau begitu ceraikan aku”
          “Tidak bisa”
          “Kau itu laki-laki! Kau harus membuat sebuah keputusan, kau harus tegas Justin”dan kali ini dia yang terdiam, bibirnya terbungkam seribu bahasa tidak dapat menjawab kata-kataku. Bibirnya langsung terkatup sangat rapat dan kembali menatapku dengan tatapan agar aku membatalkan semua permintaan ini. “Aku mohon”ujarku lagi. Justin seakan terenyuh, untuk beberapa kali matanya terlihat memerah seakan memohon padaku untuk membatalkan semuanya. tidak, tidak Justin. Aku ingin membuatmu bahagia, tidak terpaku pada diriku. Hidup bersama wanita sepertiku. Kau berhak mendapatkan yang sempurna. Seperti Ariana Adolfo.

          “Kau keras kepala!”
          “Aku tidak ingin membuatmu menderita”jeritku lagi, dia menggeleng cepat kembali menegaskan padaku untuk berhenti berbicara. Berhenti mengatakan hal-hal seperti itu kepadanya. Aku meneguk ludahku, terdiam tidak sanggup lagi membuka bibirku. Aku…aku seperti… aku bingung, apa yang seharusnya aku lakukan. Aku ingin Justin berhenti mengurusku, hidupnya sudah terlalu sayang untuk dihabiskan hanya untuk mengurusku yang tidak pernah sembuh atau kuat seperti wanita selayaknya. Selamanya, aku akan terus seperti ini. Aku tahu, lama kemudian meningitis ini akan menyebar, merapuhkan kekuatanku.

          “Aku tidak pernah merasa menderita didekatmu”

          “Kau bohong, Justin. Kau bohong. Kau jauh lebih cocok hidup bersama Ariana. Kau masih mencintainya dan aku yakin, Ariana masih sangat mencintaimu. Kalian itu berjodoh, dan semua itu hanya karena masalah waktu yang menyebabkan kalian terpisah”Justin terdiam. Tangannya mengepal membentuk tinju sempurna, urat-urat birunya menonjol dari balik kulit pergelangan tangannya seakan sedang berusaha menguasai sesuatu yang menggelegak didalam dirinya.

          “baiklah, kalau memang itu maumu. Aku tidak akan pernah bisa menceraikanmu dan aku akan mengikuti permintaanmu yang kedua, menikahi Ariana”Deg. Ada sesuatu yang tajam menikam tepat bagian jantungku, melumatnya membuatnya tergores dan ngilu. Ya tuhan, ya memang itu yang sangat aku inginkan. Itu yang aku mau. Aku berusaha untuk tersenyum, seakan terlihat senang dan bahagia akan keputusannya. Aku benar-benar seperti seseorang yang bodoh, wanita paling idiot sekarang. Tertawa dibalik kesedihan, tersenyum dibalik tangisan dan berusaha untuk terlihat tegar walaupun aku begitu rapuh… benar-benar rapuh seperti sayap kupu-kupu yang mudah untuk dihancurkan.

          “Kau pantas bahagia, aku berharap kau bisa menemukan kebahagiaanmu bersama Ariana”
          “Tidak, aku sudah bahagia bersamamu”aku tertawa lagi, terbahak kecil lantas menggeleng cepat. Dia bohong, aku tahu. “Kau sudah terlalu lama lelah hidup bersamaku”Ujarku lagi, berusaha menangkis ribuan alasan milik Justin. Bola mata karamelnya kembali menatapku dalam-dalam kemudian mengambil nafas panjang. “Jangan pernah kau menyesal atas keputusanmu”ujarnya menohok tatapanku, tatapan dingin dan ketus. Aku membasahi bibirku yang terasa kering. Aku akan berusaha Justin, aku akan berusaha semampuku walaupun bagaimanapun aku tahu, semua tidak mudah.

          “Aku tidak akan menyesal, semua sudah aku pikirkan dengan matang”dustaku lagi, tersenyum kecil. Terlihat paling munafik, berpura-pura memakai topengku. Justin mengangguk lagi lantas beranjak bangkit dari posisinya. “Kalau memang itu maumu, akan aku turuti”lanjutnya kemudian berbalik, memutar tubuhnya untuk menjauh dariku. Aku terdiam, bola mataku memerah… memanas dan ngilu lantas aku menangis. Bodoh, gadis bodoh. Aku benar-benar bodoh.


****
          Mereka sempurna. Ariana tampak cantik, cantik sekali. Sempurna. Dia tampak anggun berdiri dialtar katedral bersama pangeranku disebelahnya, Justin. Aku jadi teringat sata dimana aku menggunakan gaun pengantin dengan Justin berdiri disisiku. Aku menarik senyum, memutar bola mataku kearah Ariana dan Justin. Berusaha tersenyum, berusaha kuat walaupun dalam hati aku menangis. Aku ingin berteriak, sekeras-kerasnya. Kenapa didunia ini rasanya tidak adil? Aku ingin menjadi wanita seutuhnya. Maksudku, wanita yang sehat… wanita yang bisa menjadi istri paling sempurna untuk Justin. Aku mengigit bibirku begitu melihat Justin memasukkan cincin pernikahan kejari manis Ariana, gadis itu tersenyum merasa benar-benar bahagia lantas kembali bertatapan. Tatapan itu…. Tatapan Justin, itu adalah tatapan yang paling nyaman dan lembut didunia ini.

          Justin mendekatkan wajahnya, sebelah jemarinya merengkuh wajah cantik Ariana kemudian menyentuh bibir seksi gadis itu yang dipoles lipstick pink natural. Aku terhenyak, lagi merasakan sekujur tubuhku seakan mati rasa. Ya tuhan. Ada apa ini? kenapa tiba-tiba aku merasa sakit, merasa sesak dan sulit bernafas. Justin mencium Ariana didepanku, aku tahu mereka sudah resmi menjadi suami-istri sekarang atas permintaanku. Tapi, kenapa rasanya…. Tidak, lupakan. Mereka tampak sempurna. Ingat Cady, Justin pantas mendapatkan yang jauh lebih baik dariku.

          Aku menunduk, merasa setetes air mata mulai menetes dari kelopak mataku. Mengalir, setitik demi setitik melunturkan bedak dan eyeliner yang melapisi wajahku. Jeez. Jangan menangis, jangan menangis. Tolong jangan menangis, sekarang bukan waktunya untuk menyesali semuanya. Justin-pantas-bahagia. Mereka benar-benar sempurna, serasi dan sangat cocok. Ariana sangat cantik, Justin sangat tampan. Lihat, mereka cocok kan? Ya, kurasa aku sangat tidak pantas untuk Justin. Aku, istri sakit-sakitan yang tidak pantas untuk mendampingi pria sesempurna Justin.

          Dalam beberapa menit kedepan, para tamu sudah keluar dari dalam katedral. Pintu sudah terbuka dengan lebar. Aku terkejut dan kembali mengalihkan pandanganku, mendongkak. Menatap kearah sekeliling. Bola mataku memutar lagi, menatap kearah Justin. dia masih berada disebelah Ariana, pandanganya terarah padaku. Memandangku dengan tatapan nyaman dan hangat. Aku mengigit bibirku lagi, merasa tidak kuat dengan semuanya. Sepertinya, dia mengerti bagaimana perasaanku. Justin terlihat seakan ingin menegaskan padaku untuk kuat, untuk tetap tegar karena dia akan selalu bersamaku. Aku tahu, Justin memang akan selalu disisiku.

          Dengan begitu susah payah, aku beranjak bangkit dari kursi kemudian melangkah mendekat kearahnya dan Ariana. Suara stiletto milikku bergema, Ariana memalingkan wajahnya kemudian menarik senyum begitu melihatku. “selamat, kalian sangat sempurna”ujarku tersenyum. Lagi-lagi berdusta. Kenapa sekarang aku merasa bahwa aku adalah manusia paling berdosa karena terlalu banyak berbohong dihadapan semua orang. Ariana memelukku, tubuhnya yang tinggi dan seksi mendekat. Menarikku kedalam pelukannya, memeluk tubuhku yang kurus. Aku benar-benar merasa minder sekarang, tidak percaya diri lagi. Dulu aku secantik Ariana, tidak seperti sekarang. Tubuhku sudah kecil dan kurus dengan wajah yang memucat.

          Justin melangkah, maju untuk berdiri disebelahku. Ariana melepaskan pelukannya, bola mataku memutar beralih kearah Justin. Dia tampan, sangat tampan. Bola mata karamelnya menatapku dengan hangat kemudian beringsut memelukku. Aku tenggelam didalam pelukannya. Tidak, jangan menangis Cady. Kau harus terlihat kuat sekarang, aku berusaha menegaskan pada diriku sendiri. Justin memelukku erat, hangat kemudian menghirup aroma tengkukku. Sesuatu yang sangat sering dia lakukan.

          “Aku…mencintaimu”Deg. Dadaku berpacu lagi. Kenapa dia selalu seperti ini dihadapanku. Tidak Justin, kau harus melupakanku. Aku tidak cocok untukmu. Batinku berinterupsi, aku langsung melepaskan pelukannya secara paksa kemudian tersenyum kikuk. Canggung sekali seakan-akan Justin adalah orang yang sangat asing bagiku. “Well, sepertinya kalian sangat lelah. Bagaimana kalau sekarang kalian istirahat dirumah?”ujarku berusaha tersenyum dihadapan mereka, lagi berpura-pura untuk keberapa kalinya. Menutupi tangis dan kesedihan yang menggebu-gebu didadaku. Ariana mengangguk, dia mengalungkan lengannya dilengan kekar Justin. Bersandar pada bahu suamiku. Maksudku, bahu suaminya juga mulai detik ini. Ya, sekarang aku harus lebih terbiasa untuk membiasakan semuanya. Justin bukan lagi milikku seutuhnya. Dia milik Ariana, relakan Justin. Aku tahu semuanya tidak mudah, berbagi kasih dan cinta Justin kepada wanita lain tapi itu yang paling terbaik. Waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa membiarkan Justin berlarut-larut membuang waktunya untukku.

          “Ya, aku sudah sangat lelah.. honey”Ariana mengecup pipi Justin lagi. Aku terhenyak, berpura-pura terbiasa walaupun dalam hati aku berteriak. Kenapa? Kenapa dia mencium…suamiku. Justin terlihat mengangguk kemudian membawa Ariana untuk keluar dari dalam katedral, aku terdiam lagi.. dan perlahan-lahan, dengan langkah berat sedikit tersaruk mengikuti langkah mereka. Bola mataku tepat mengarah kepunggung Justin, menatap kearah punggungnya yang kekar dan melirik kearah Ariana yang bersandar dibahu dengan mengalungkan lengan dilengan Justin. Rerumputan hijau yang bergoyang tertiup hembusan angin menyembul diluar katedral. Goresan langit biru dengan spektrum sinar kekuningan terlihat dicakrawala. Indah, seakan menyambut Justin dan Ariana yang baru saja mengikat janji sehidup semati.

          Aku menarik nafas, lantas menegaskan pada diriku lagi. Ini risiko yang harus aku ambil. Justin memeluk bahu mungil Ariana kemudian mendorong lembut gadis itu masuk kedalam mercedez benz hitam mengkilat yang ada didepan katedral. Justin melirik kearahku lantas mengernyit, membentuk kerutan kecil didahinya. “kau pulang bersama siapa?”tanyanya. Aku tersenyum kecil.

          “jangan khawatirkan aku, aku akan pulang dengan Dhane”ujarku tersenyum. Dhane, dia adalah salah satu sahabatku. Justin tersenyum kemudian mengangguk dan langsung menutup pintu mobilnya. Dalam beberapa detik, mercedez benz itu langsung melaju cepat membelah jalan raya. Meninggalkan katedral, menuju kerumah yang aku tempati dengan Justin. Aku terdiam, berdiri disini seakan membeku sekarang. Kenapa tiba-tiba sekarang aku merasa sesak? Aku ingin menangis, berteriak seakan tidak rela sekaligus mempercayai semuanya. Aku tidak yakin bahwa sekarang Justin bukan lagi milikku. Ya, aku akan membiarkan Justin hidup sempurna dengan Ariana. Justin pantas bahagia bersama gadis yang memang pantas untuknya.


****

          Suara ketokan pintu terdengar, berulang-ulang. Aku langsung beranjak bangkit dari atas ranjangku dan melangkah menuju keruang tengah untuk membuka pintu tengah rumah. Aku tersenyum kecil, mungkin Justin yang baru saja pulang dari kantornya. Ya, aku sangat hafal jadwal dia pulang kerumah. Sekarang adalah waktunya untuk sampai dirumah. Baru saja aku ingin menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Ariana muncul dihadapanku. Dia menatapku sekilas. “Aku saja yang membuka pintunya”ujarnya lagi. aku diam, menyerah kemudian mengangguk dan mengalah membiarkan Ariana menyambut Justin sekarang. Dalam beberapa detik, pintu sudah terbuka lebar bersamaan dengan angin malam yang berhembus menelusup kedalam pintu. Dia tersenyum, Ariana langsung menghambur memeluk Justin. Melepaskan dirinya didalam dekapan suamiku. Aku terdiam, terkejut namun sama sekali tidak bisa melakukan gerakan apapun. Aku tidak bisa mencegah mereka. Dia berhak, dia mempunyai hak. Ariana mempunyai hak yang sama denganku.Dia istri Justin, sama sepertiku.

          “Aku lelah”desis Justin tersenyum, menatap bola mata gadis bermata biru didepannya. Aku tahu, masih ada cinta yang tersimpan bergelut didalam tatapan itu. Aku tahu, sangat tahu. Ariana Adolfo adalah cinta pertamanya. Aku langsung menunduk dan menegang disini. Justin memutar wajahnya, ujung sudut matanya sempat menilik kearahku.

          “Cady, kau baik-baik saja?”tanyanya tegas. Aku kembali mengangkat wajahku cepat-cepat dan mengangguk. Sedikit tergeragap. Justin tersenyum kecil. Senyum yang selalu menemani hidupku. Tuhan, kenapa semuanya berjalan seperti ini? kenapa sekarang justru aku menyesal sudah membuat keputusan pada Justin hidup bersama Ariana dan kenapa sekarang aku benar-benar merasa idiot, bodoh sekali.

          “makan malam dulu, Justin”ujar Ariana menarik lengan Justin dengan kemeja yang sudah digulung hingga kesiku dan jas bertengger dibahunya. Wanita berambut tembaga itu mengambil tas kerja dan kemeja Justin, melepaskan dasi yang melingkar dilehernya dan melangkah disisi Justin untuk masuk kedalam rumah. Aku menghela nafas, seharusnya aku yang berada disisi Justin sekarang. Menyambutnya, menciumnya selayaknya seorang istri tapi sekarang aku tahu, sudah ada Ariana yang jauh lebih pantas menggantikan posisiku.

          “Aku mandi dulu”ujar Justin melirik Ariana. Wanita itu mengangguk sekilas, Justin kembali mengecup keningnya dan melangkah menjauh menuju kekamarnya. Dan sekarang, kenapa tiba-tiba dia tidak menciumku? Kenapa Justin tidak memelukku? Kenapa Justin hanya sekedar melirikku, kenapa? Aku diam, meneguk ludahku sendiri. Merasakan perlahan-lahan ada sesuatu yang terkikis didadaku. Sesak sekali. “sebaiknya, kau istirahat dikamar. Keberadaanmu disini benar-benar mengangguku”Ujar Ariana tiba-tiba menyadarkan lamunanku. Aku tesentak kemudian memutar wajahku melirik kearahnya dengan tatapan heran, tidak mengerti.
          “maksudmu?”

          “Ya, aku tahu sebentar lagi kau akan mati dan … aku dan Justin akan hidup tenang disini tanpa ada penganggu sepertimu”ujarnya dengan tatapan mendelik tajam, sinis dan meremehkan. Aku terhenyak, mengernyitkan dahiku sejenak. Entah kenapa, rasanya seperti ada mesiu peluru yang menembus jantungku. Membuat lubang menganga disana dan sanggup membuat jantungku berhenti berdetak. Apa yang baru saja dia katakan, barusan? Apa maksudnya.

          “jangan bilang bahwa aku mau menikah dengan Justin itu semua karena permintaanmu? Oh tentu saja tidak. Maksudku, aku mau menikahi Justin karena aku tahu sebentar lagi kau akan mati dan kemudian aku bisa hidup bahagia bersama suamiku”lanjutnya menarik senyum tipis namun dengan seringai licik amat kentara. Aku mengigit bibirku, merasakan ada rayap yang berjalan disekita tubuhku. “Jaga bicaramu!”gertakku menggeleng cepat. Wanita itu tersenyum kecil.

          “kenapa? Tidak terima saat aku katakan seperti ini, oh ayolah.. kau harus menerima takdirmu dan sekaligus aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau, Justin sekarang sudah menjadi milikku”Ujarnya terkekeh lagi. Kelopak mataku memerah, merasa diriku menciut sekarang. Apa yang sedang terjadi. Kenapa tiba-tiba Ariana menjadi seperti ini. tolong katakan sesuatu padaku, aku mohon. Ada apa sebenarnya.

          “aku peringatkan kepadamu, mulai sekarang jangan pernah mencari perhatian pada Justin. Ingat, sebentar lagi kau akan mati.. sayang”lanjutnya membuatku makin mengigit bibirku lebih keras lagi. Air mataku menetes tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak tahu, tidak mengerti apa yang semestinya aku perbuat sekarang. Demi tuhan, kenapa semuanya menjadi seperti ini. Kenapa tiba-tiba Ariana menjadi benci padaku?
          “kau pikir aku gadis bodoh? Yang mau membagi cintaku kepada wanita penyakitan sepertimu. No, big no. Mulai sekarang, Justin adalah milikku. Seutuhnya”Deg. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyeruak dalam dadaku. Sakit sekali, rasanya. Seluruh tubuhku menegang. Semua yang dia memang katakan benar, aku akan mati dan Justin jauh lebih pantas hidup bersamanya. Aku mengerti.

          “Cukup—Cukup—Ariana!”gertakku bergetar, tubuhku bergejolak ada sesuatu yang bergejolak didalam dadaku. Ariana menarik alisnya lantas kembali menatapku dengan ekspresi geli nyaris tertawa. “Kenapa? Kau tidak mau menerima takdirmu? Ya, kau adalah seorang istri penyakitan yang hanya bisa menjadi parasit dalam hidup Justin. Oh cmon. Itu jauh lebih baik jika kau sadar diri bahwa wanita sepertimu sangat tidak cocok menemani kehidupan Justin”ujarnya tertawa, menertawakan diriku. Aku pantas ditertawakan. Aku sangat pantas. Aku kembali menatapnya dengan wajah memerah, tanganku terasa panas. Aku langsung maju, maju beberapa langkah kemudian menghentak menampar wajahnya keras-keras. Ariana langsung jatuh tersungkur. Wanita itu mengerang, dengan tubuh jatuh diatas lantai. Wajahnya berbenturan dengan bebatuan marmer, sebelah tangannya beringsut mengusap pipi kirinya yang tiba-tiba memerah karena tamparanku. Aku mengigit bibir kuat-kuat, berusaha tidak menangis.

          “Jeez. Cady! Cady apa yang kau lakukan?”Justin terhentak, pria itu baru saja keluar dari dalam kamarnya dengan kaos dan rambut yang basah selesai mandi. Dia menatapku tajam, bola matanya menusuk tepat menohok kearahku. Aku terkejut, kaget. Justin berlari, menarik Ariana. Memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja.

          “aku—aku—“aku tergeragap, tidak tahu apa yang harus aku katakan. Pria bermata karamel itu kembali mengalihkan bola matanya, menyerbu mataku dengan tatapan tajam.. dingin, ketus sekali seperti batu.
“Kenapa? Kenapa kau menamparnya? Apa yang sudah dia lakukan?”tanya Justin kembali menohok seakan menjebakku disatu titik, meluluhlantahkan pertahanan kokoh yang aku miliki. Aku terdiam, tidak sanggup membuka suara. Apa yang harus aku katakan sekarang?
          “Dia, dia marah padaku.. karena.. karena tadi aku ingin menyiapkan sarapan makan malam untukmu”Ariana membuka suara dengan nada intonasi dibuat sedikit kecil, memecah seakan terlihat menangis. Aku ternganga, menatapnya kaget. Apa yang wanita itu katakan, barusan? “Dia marah karena kau mencium keningku, dia marah karena kau memelukku”ujarnya lagi. Aku meneguk ludahku, dalam beberapa detik aku berubah terpaku. Justin menggeletukkan giginya, bola matanya menatapku garang. Tidak pernah aku melihatnya sedemikian marah padaku dan kali ini untuk pertama kalinya.

          Justin bangkit, dia berdiri kemudian melangkah mendekatiku. Bola matanya masih tetap menohok pandanganku dalam-dalam lantas mencekal pergelangan tanganku keras. “Follow me, NOW!”Teriaknya tajam, menimbulkan gema dan gaun yang memantul keseluruh ruangan. Aku meneguk ludahku lagi. Tubuhku gemetaran, terkejut melihatnya sedemikan mengerikan. Apa yang sedang terjadi? Demi tuhan, jangan tatap aku dengan pandangan seperti itu Justin. Aku mohon. Justin langsung menarik tubuhku untuk mengikuti langkahnya. Dia mendorongku kedalam kamar, kamar baruku kemudian menghentakkan tubuh kurusku keatas kasur dan mengunci pintu dengan tergesa. Pandangannya menyerbuku, lagi.

          “kenapa? Kenapa kau lakukan ini, kenapa?”teriaknya tajam. Aku
gemetar, ketakutan. “Kenapa? Answer my ask, Cady!”gertaknya lagi membuat bibirku tidak sanggup terbuka. Aku seakan kehilangan kata-kata melihatnya kehilangan kendali seperti tadi.
          “aku—aku…”

          “Jawab, nona Cady!”Aku gemetar, wajahku memecat. Bibirku langsung berubah beku tidak tahu apa yang semestinya aku lakukan sekarang. Dia tidak lagi percaya, padaku. Justin tidak mempercayaiku lagi. “Kau yang menyuruhku menikahi Ariana dan sekarang, kenapa kau lakukan itu?”Lanjutnya lagi kembali menohokku. Aku tidak tahu, aku tidak tahu, aku tidak tahu. Aku bingung menjawabnya.

          “Aku—“
          “dia mempunyai hak yang sama sepertimu, dia sekarang istriku. Kau tahu, semua itu kau yang menyuruhku”aku tahu, aku mengerti. Aku yang menyuruhmu Justin, aku yang bersalah dengan semua ini. Aku yang bodoh, aku gadis idiot. Aku yang seharusnya disalahkan, ya..semua itu karenaku.

          “Aku kecewa, padamu”Deg. Aku tersentak lagi saat Justin mengucapkan kata-kata itu, pertama kalinya. Dia kecewa padaku, dia membenciku. Aku terdiam lagi, tidak tahu apa yang semestinya aku lakukan “Aku sudah bilang pertama kali padamu, semuanya terlalu berisiko tapi kau selalu mendesakku. Dan kau tahu, semua ini risikonya”ujarnya lagi kembali menatapku tajam. Aku menunduk, tidak mempunyai keberanian menatap kedua bola matanya. Aku wanita pengecut.

          “Stop Justin! stop! Aku tahu risikonya, aku tahu.. hanya saja.. aku—“
          “apa? Kau ingin mengatakan apa?”aku terdiam lagi, aku bingung apa yang semestinya aku katakan. Haruskan aku mengatakan padanya bahwa semua itu tidak benar, haruskan aku mengatakan bahwa aku mencintainya. Aku cemburu, aku sakit, aku terluka melihatnya bersama Ariana. Tentu saja tidak. Kali ini, aku harus berdusta lagi.

          “Aku kecewa padamu! Aku kecewa!”lanjutnya bergema. Aku tersentak, menundukkan wajahku dalam-dalam, menyembunyikan bola mataku. Aku bisa merasakan tatapan nanar Justin, tangannya yang terkepal dan bagaimana emosinya sekarang semua itu karenaku. Aku minta maaf, Justin. Aku minta maaf. Pria itu menggeleng, mengerang emosi kemudian membalikkan tubuhnya untuk keluar dari dalam kamarku. Suara kunci yang diputar terdengar, Justin langsung membuka pintunya emosi nyaris membantingnya diiringi suara gebrakan keras mengejutkan. Aku mengigit bibirku lagi. Aku minta maaf Justin, aku sudah membuatmu kecewa.



****

          Diam, terpaku, hening, sunyi. Aku benar-benar merasa kehilangan sekarang. Justin-sudah-bahagia. Aku berharap, Justin sudah benar-benar bisa melupakanku. Aku tahu, aku tidak bisa menemani kehidupannya dan dia layak mendapatkan yang terbaik. Dia layak mendapatkan Ariana untuk menemani hari-harinya. Wanita itu jauh lebih baik, dariku. Aku membuka pintu kamarku lantas terkejut, bibirku bungkam lagi begitu melihat Justin sedang mencium bibir Ariana tepat diruang tengah rumah. Bibir itu… dia dulu sering menciumku seperti itu. Ariana tersenyum kecil, mereka sangat bahagia.

          Aku bisa melihat Justin jauh lebih baik bersama Ariana. Tangan Justin menelusur, mengusap tengkuk dan punggung Ariana yang terbuka. Aku mengigit bibirku lagi, sudah lama sekali Justin tidak pernah menyentuhku. Aku merindukannya, sangat. Air mataku menetes lagi, mengalir hingga keujung daguku begitu melihat mereka sedang bercumbu disana. “Cady, apa yang sedang kau lakukan disitu!?”Aku terkejut, punggungku tersentak begitu mendengar suara Ariana. Dia memergoki, melihatku sekarang. Ya tuhan, astaga apa yang sedang aku lakukan. Bola mataku terbelalak. Wanita itu langsung menjauhkan tubuhnya dari Justin dan menutupi dadanya dengan tangan. Justin yang masih berpakaian lengkap menatapku tajam.

          “tidak adakah yang jauh lebih baik kau lakukan selain mengintip seperti itu?”gertak Justin tak suka, merasa terganggu denganku. Aku menunduk, malu luar biasa. Apa yang sedang aku lakukan sekarang. Aku menggeleng kecil. “aku, aku hanya ingin mengambil air minum didapur..ng.. maaf sudah menganggu aktivitas kalian”Ujarku lagi kemudian langsung memutar bola mataku, dengan gerakan gemetar dan sedikit gusar aku kembali menutup pintu kamar. Menguncinya cepat. Aku menutup bibirku dengan telapak tangan, berusaha untuk tidak menangis. Kenapa sakit sekali, kenapa rasanya sakit sekali. Kenapa aku tidak rela melihat Justin menyentuh wanita lain, aku tahu Ariana adalah istrinya sekarang dan itu adalah kewajibannya.

          Aku menenggelamkan wajahku dibalik bantal, berusaha agar tangisku mereda. Tidak, tidak bisa. Kenapa rasanya air mata ini sulit sekali berhenti. Kenapa rasanya aku selalu saja menangis, kenapa aku selalu merasa sesak tiap kali melihat Justin bersama Ariana. Mereka sudah sangat bahagia, Justin sepertinya menyayangi Ariana. Seperti yang pertama kali kukatakan, aku yakin masih ada cinta yang tersembunyi untuk Ariana, cinta pertamanya. Siapapun pasti akan setuju bahwa pesona cinta pertama tidak bisa dielakkan. Semenjak sebulan ini, Justin sudah tidak lagi memperdulikanku. Dia sudah jarang menanyakan diriku, tidak pernah lagi mengingatkanku untuk meminum obat, dia tidak pernah lagi mengantarku check-up. Dia sudah terlalu sibuk untuk itu. Kurasa, itu semua memang yang aku inginkan.

          Aku ingin Justin melupakanku, dia harus menemukan kebahagiaannya tidak terpaku untuk menghabiskan hidupnya untuk mengurusku yang berada diambang kematian. Aku tahu, cepat atau lambat nanti aku akan mati. Justin tidak pernah lagi mencium keningku, tidak pernah mencium bibirku, tidak pernah lagi memelukku atau mengusap rambut panjangku. Dia sudah jarang menatap mataku, semua sudah sangat berubah. Ya, semua berbeda tidak lagi seperti dulu. Aku terisak lagi, aku merasa begitu merindukan semuanya. Aku bodoh, wanita bodoh, sangat bodoh. Aku memang sangat merindukan Justin. Merindukan semuanya. Aku rindu tidur didalam pelukan Justin, aku rindu disuap olehnya, aku rindu diperdulikan oleh Justin, aku rindu saat pria itu mengucapkan kata-kata manis ditelingaku.

          Tapi aku tahu, Justin sudah menemukan kebahagiaannya. Dia melupakanku dan pantas bahagia bersama Ariana. Aku kembali memutar bola mataku, menatap detik-detik jam tergantung didinding tembok. Dan sekarang apa gunaku tinggal disini? Seperti yang ariana katakan, aku seperti parasit yang menempel dikehidupan Justin. Aku selalu membuatnya kesulitan, apa gunaku disini? Bukankah jauh lebih baik membiarkan mereka hidup bahagia tanpa memperdulikanku lagi. Aku bisa melalui sisa-sisa hidupku dengan tanganku sendiri.

          Aku langsung beranjak bangkit, mungkin jauh lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aku harus pergi. Tidak ada lagi yang aku harapkan, Justin sudah bahagia dengan Ariana. Dan apa yang aku lakukan disini? Hanya menjadi seorang wanita penyakitan yang menunggu detik-detik kematian. Aku harus pergi, dari sini. Dengan gusar, aku langsung membuka pintu lemari dan mengambil beberapa baju didalam sana. Baju dari Justin, hadiah Justin saat hari ulang tahunku. Aku mengambil beberapa pakaian didalamnya dan memasukkan kedalam tas jinjing. Air mataku mengalir lagi, kemudian bola mataku berdesik menilik sebuah foto Justin dan aku disebuah figura. Mungkin, ini adakan jadi sebuah kenang-kenangan yang aku simpan. Justin, suamiku. Aku menarik nafas berusaha untuk tidak menangis tapi tetap tidak bisa. Tiap kali aku berusaha untuk menguasai diriku, air mata ini semakin deras, lebih deras dan jauh lebih deras lagi menetes membuat permukaan wajahku melengket.

          Sekuat tenaga, aku mengigit bibir lantas menutup resleting tas jinjingku, menutup pintu lemari dengan gerakan sangat hati-hati. Aku kembali menulis sebuah surat untuk Justin, Justin Bieber. Justin, suamiku, seseorang yang sangat aku cintai. Selamanya. Mungkin, ini adalah yang terbaik. Wanita sepertiku, lebih baik menjauh dari kehidupannya. Aku tidak pantas disini. Jemariku kembali membuka laci meja berwarna cream magenta, mengambil sepucuk kertas dan pena didlamnya. Sebelah tanganku dengan gerakan gemetar mulai menulis kata-demi kata, merangkai kalimat, berusaha menuangkan perasaanku. Pada Justin. selama 3 menit kedepan, selesai menulis surat aku kembali menyelipkan kertas itu didalam amplop dan meletakkannya diatas meja. Aku mendesah, melirik kearah jam. Sudah malam, aku tahu. Aku menggeleng cepat, berusaha mengusir sekelebat bayangan dibenakku lantas perlahan-lahan melangkah menuju kepintu. Sudah dua jam aku menunggu didalam kamar. Apakah Justin masih bersama Ariana? kurasa mereka sudah tertidur. Aku membuka handle pintu perlahan-lahan, dengan gerakan sangat hati-hati dan mengintip dari sedikit celah pintu yang terbuka.

          Tidak ada Justin atau Ariana disana, mereka sudah tertidur didalam kamar kurasa. Kamar yang dulu aku tempati bersama Justin, kamar yang menyimpan banyak kenangan dibenakku. Aku sangat merindukan Justin. Air mataku mengalir lagi, kemudian keluar dari dalam pintu. Aku harus meninggalkan rumah ini, berat rasanya. Sulit sekali, tidak bisa meninggalkan tempat ini. tempat dimana dulu aku tinggal bersama Justin, tapi aku harus melakukan ini. Aku menarik nafas panjang berusaha menguatkan perasaanku sendiri. Aku sudah yakin, sekarang. Justin, selamanya aku akan mencintaimu… selamanya, kau akan selalu menjadi suami terbaikku, kau tahu itu.



****

Author’s View


          Justin menangis, memeluk pusara Cady erat-erat. Tangisnya meledak, wajahnya memerah dengan kelopak mata memanas. Semua sudah sangat terlambat. Cady sudah meninggal. Meningitisnya sudah tidak menyebar, merusak seluruh bagian otaknya. Semua sudah terlambat, terlambat dan terlambat. Justin meremas bagian tanah pusara erat-erat didalam jemarinya. Cady sudah meninggal, dia ditemukan pingsan ditengah jalan, kemarin malam. Demi tuhan, apa yang sudah dia lakukan? Kenapa… kenapa… Justin terisak lagi sama sekali tidak membayangkan apa yang telah dia lakukan.

          Cady sudah meninggal. Kata itu terus saja berkelebat dibenak Justin. Istrinya yang paling sempurna, sudah tidak ada. Pria itu menarik nafas panjang berusaha untuk mengatasi emosinya, berusaha mengendalikan dirinya. Dia harus kuat, tidak boleh menangis. Pikirnya lagi. “Justin, aku temukan ini.. dikamar Cady”Ariana beranjak, wanita berambut tembaga itu melangkah menyentuh pundak Justin lembut. Pria itu tersentak, mengangkat wajahnya kemudian meneguk ludahnya hingga jakunnya terlihat naik turun melakukan gerakan peristaltik. Tangannya gemetar, permukaan telapak tangannya memucat saat mengambil amplop ditangan Ariana.

          Justin mengusap air matanya, kembali membuka surat itu perlahan-lahan. Ada tulisan tangan Cady tertulis disana, untuk terakhir kalinya.


 Dear : Mine,



          Aku kira, setelah kau membaca surat ini. Aku sudah tidak ada lagi disisimu. Aku sudah menghilang, aku sudah tidak lagi berada dikehidupanmu. Kau tahu, terimakasih karena kau sudah menjadi suami paling sempurna dihidupku. Selamanya, kau selalu sempurna dimataku… aku bisa kuat hidup didunia ini, karenamu. Justin.
           terimakasih atas waktu 3 tahunmu bersamaku, kau bisa membuatku tersenyum, bahagia, dan tertawa disisimu. Terimakasih sudah mengizinkanku merasakan kenyamanan didalam pelukanmu, kau sudah memberiku waktu untuk menjadi seorang wanita yang mampu mengisi hari-hari dihidupmu walaupun aku tahu, aku tidak bisa menjalankan tugasku selayaknya seorang istri untukmu. Aku sangat tidak cocok hidup denganmu, kau terlalu sempurna untukku, Justin. Aku hanya seorang wanita bodoh penyakitan, yang selalu merepotkanmu, membuang waktumu untuk mengurusku, maafkan aku.

          Justin, terimakasih atas cintamu. Terimakasih untuk semuanya, selamanya aku tidak akan pernah bisa melupakanmu dari benakku. Kau yang sempurna, kau yang terbaik untukku. Aku bahagia, kau bisa menikah dengan Ariana. Kalian sangat sempurna, sangat serasi. Aku bisa melihat kau mulai mencintai Ariana. Aku bahagia, walaupun sejujurnya aku menangis, aku cemburu, aku sakit melihatmu menciumnya. Kau tahu, kenapa kau tidak pernah lagi menyentuhku sejak bersama Ariana? apa kau sudah benci padaku? Kau kecewa padaku? Kau tidak suka pada wanita penyakitan, sepertiku? Kau tidak pernah lagi mencium keningku, kau tidak pernah lagi memelukku. Aku merindukan semua itu, Justin. tapi aku tidak berani mengatakannya padamu. Karena aku tahu, kau pantas untuk bahagia bersama Ariana.
          Aku merindukanmu, sungguh. Terimakasih sudah menjadi penyemangat hidupku, aku tidak akan pernah bisa melupakanmu.. selamanya, sampai kapanpun. Dan, jangan pernah lupakan aku dari dalam hatimu. Walaupun aku bukan wanita yang sempurna tapi aku sudah berusaha untuk menjadi istri terbaik untukmu.


Lots of love,

Cady Bumer.

          Justin menggeleng cepat, kelewat cepat untuk mencekal semuanya. Tidak, tidak mungkin. Tidak, tidak mungkin. Tidak boleh. Cady tidak boleh mati. Pria itu menangis kemudian beringsut memeluk pusara Cady erat-erat. Istrinya, telah tiada.
 --------------


join with my twitter : https://twitter.com/comeput_soon

Little Mistake (Oneshoot)


Aneline Crapsto
Title     : Little Mistake
Length : Oneshoot
Genre   : Sad, Romance
Rating         : T-14

 --------------------------------

           “Mom gila? Aku tidak mungkin menikahinya”Suara Justin Bieber menggema diruang rumahnya yang bertingkat dengan desan klasik kuno, cahaya temaram oranye dari lampu Kristal yang menggantung diatas atap tampak berpendar dalam ruangan. Patricia Mallete diam tak mampu berkata-kata, ada rasa sesak membayang dan menohok dadanya  dalam-dalam.
           “ini semua salahmu.. kau telah meniduri gadis lain, dan kau harus bertanggung jawab. Jangan buat nama keluarga kita tercoreng”desis Patricia gemetar sesekali tergeragap. Justin memutar sorot platinanya menatap wajah Aneline yang memerah dengan genangan airmata menggenang dibawah kelopak matanya yang menghitam. Jerremy Bieber mengepalkan tangannya keras tak sanggup membayangkan kejadian yang terjadi hari ini.

           “Anak kurang ajar, kau aku didik dengan baik-baik tapi ternyata ini balasanmu?”desis Jerremy dengan amarah yang kentara. Justin menunduk menarik nafas dalam-dalam kemudian mendesah perlahan. “kau bereskan masalah ini. Kau nikahi dia, kau harus bertanggung jawab. Jadilah laki-laki yang dapat diandalkan”Jerremy kembali bertukas dengan nada tegas yang nyata. Justin kembali mendongkak lantas menggeleng keras. “Tapi.. aku menidurinya dalam kondisi tidak sadar, aku terpengaruh alkohol”

           “terserah apa alasanmu itu.. jangan buat nama keluarga kita hancur”Jerremy mendengkur dengan mata yang memerah kemudian berjalan berbalik masuk kedalam kamarnya diiringi dengan Patricia yang mengekor. Justin Bieber diam tak sanggup berkata-kata sementara suara isak tangis masih terdengar sesengukan. Sorot karamelnya kembali berputar melihat wajah Aneline dengan pandangan geram.

           “ini semua karenamu, dasar gadis murahan. Kau pasti mencoba untuk menjebakku.. kau ingin menguasai harta keluargaku dan kau mencari cara dengan tidur denganku”Justin menggertak penuh penekanan sembari menatap Aneline tajam. Gadis bermata toska itu menggeleng dengan lutut sendi seolah gemetar ingin runtuh“aku bersumpah.. aku tidak sekeji itu, aku tidak pernah menjebakmu. Malam itu aku terpengaruh oleh alkohol dan aku melakukan itu diluar kesadaranku”desis Aneline menjelaskan dengan suara memecah sumbang. Justin menarik senyumnya hambar
            “gadis murahan!”Justin masih senantiasa mengumpat menatap Aneline setajam-tajamnya. Aneline gemetar ketakutan sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam sama sekali tak mempunyai keberanian untuk menatap sorot karamel yang berpijar tajam itu. Justin lantas berbalik dan berjalan kedalam kamarnya dengan amarah nyaris memuncak meninggalkan sosok Aneline diam sendirian ditengah rumahnya. Gadis itu menangis ketakutan sembari mengenggam liontin foto kedua orangtuanya yang melingkar sempurna dilehernya. Aneline Crapsto. Ia hanya seorang gadis desa sebatang kara, orang tuanya telah meninggal sepekan yang lalu karena kebakaran rumah dan kemarin hari ia pergi ke Washington untuk mencari pekerjaan sekaligus menemui sahabatnya. Alexandra Jade, dan ternyata malam itu hari kurang beruntungnya. Yeah ia diajak wanita brunnete itu untuk menemaninya kebar lantas meminum beberapa lokiwhiski hingga kejadian diluar kesadaran itu terjadi.

           “ayah, ibu.. maafkan aku.. aku benar-benar seorang anak tak tahu diri. Aku tidak bisa menjaga amanat kalian untuk tetap menjaga diriku sendiri”Desis Aneline dengan rasa bersalah yang mendera. Air mata masih tetap mengalir dibawah kelopak matanya yang mengerucut. Garis-garis mata tampak tergores disudut matanya.

***
           Suara jam katedral berdentang dengan matahari condong kebarat nyaris tenggelam. Pernikahan Justin dan Aneline baru saja selesai dengan beberapa kerabat yang datang—hanya sekedar kerabat terdekat tanpa mengundang banyak tamu. Justin mendengus keras sama sekali tak simpatik atau antusias dengan perkawinan kecelakaan ini. Tentu, ini dapat disebut sebagai sebuah kecelakaan. Ia meniduri Aneline tanpa sadar, tanpa cinta dan pastinya ia menikah tanpa didasari perasaan cinta. Apakah itu dapat dikatakan sebagai sebuah pernikahan sejati? Rambut tembaganya terlihat bersinar terpantul cahaya senja kekuningan lembayur dari mentari yang akan condong balik kembali keperaduan. Aneline senantiasa terdiam, tak sanggup berkata sepatah kata apapun. Diam-diam gadis itu berdiri dibelakang Justin yang kali itu tengah berada dihadapan kaca besar katedral mengamati detik-detik sunset indah diluar sana. Aneline berusaha mengulum senyum lantas menyentuh pundak Justin takut-takut.

           “jangan berani untuk menyentuhku.. kau sama sekali bukan siapa-siapa”Justin tergerak kemudian berbalik. Pandangan itu kembali menohok tatapan Aneline tajam, gadis bermata hijau rumput itu sedikit tersentak kemudian mundur beberapa langkah. “aku istrimu”Desisnya berkaca-kaca. Justin menarik alisnya tinggi dengan raut wajah persegi tergambar dingin.
           “Istriku? Hanya sekedar status, tapi nyatanya aku sama sekali tidak mencintaimu”tukasnya penuh keketusan yang nyata. Aneline terpekik kemudian menatap Justin dengan sorot lensa yang berair, warna hijau sorot matanya nyaris memudar terkena buraman lelehan airmata.

           “ingat, aku menikah denganmu itu karena aku tidak mau menanggung malu karena telah menghamili seorang gadis murahan seperti macamnya dirimu. Jangan terlalu berharap banyak denganku”Justin mengoreksi lebih jelas lagi namun terdengar.. amat menyakitkan. Aneline menggeleng kecil. “aku tahu, kau tidak mencintaiku.. aku tahu”desisnya terputus nyaris hilang ditelan isak tangis airmata. Justin tersenyum kecut.

           “bagus jika kau mengetahui itu.. kau itu tak lebih hanya seorang gadis kampung berotak licik dan sama sekali tidak pantas untuk menjadi nyonya Bieber. Kau tidak berpendidikan tinggi dan sama sekali bukan wanita berkarir. Kau jika dibandingkan dengan Alberty Avord tentu sangat jauh”Justin mendekatkan wajahnya penuh penekanan, wajah Aneline memerah. Ia tahu siapa Alberty Avord, gadis berambut ombre itu adalah pacar Justin selama tiga tahun. Alberty adalah gadis berkarir dan berpendidikan tinggi dan Aneline tahu bahwa Justin memang begitu mencintai Alberty.

           “aku tahu itu, aku memang hanya seorang gadis kampung”Aneline mengangkat suara. “Dan berotak licik untuk menjebakku”tambah Justin dingin. Aneline menggeleng keras sama sekali tak bermaksud. “aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjebakmu”
           “kau pikir aku percaya? Tidak disangka, ternyata otakmu itu jauh lebih jahat dibanding gadis metropolitan. Kau berbahaya seperti ular”tegas Justin makin menohok. Air mata Aneline untuk kesekian kali kembali keluar karena Justin. Lagi dan lagi karena pria bermata tembaga itu, kenapa ia tidak pernah percaya? Aneline tidak pernah berpikiran buruk untuk menjebak Justin. Tidak akan pernah. Ia adalah gadis lugu yang terperangkap dalam suasana metropolitan, Alexandra yang waktu itu memaksanya untuk mencicipi whiski untuk pertama kali. Dikampung sama sekali tidak terdapat whiski mahal atau margarita dan jenis alkohol lainnya dan Aneline tidak pernah tahu jika semua kejadian itu akan berdampak menjadi sebuah masalah besar.

           “percuma kau menangis, usap air mata memuakkanmu itu. Jangan mencoba untuk mencari muka dengan kedua orang tuaku. Mengerti?”Justin mendekatkan wajahnya penuh kata-kata tajam. Aneline memejamkan kelopak matanya kemudian jemarinya beralih mengusap lelehan hangat yang mengalir hingga kedagu.

           “terserah apa yang kau pikirkan tentangku. Yang jelas, aku sama sekali tidak selicik itu”Aneline menambahkan diiringi dengan kerlingan tak peduli dari Justin. Pria itu mengangkat kedua bahunya tak peduli lantas melengos keluar sama sekali tak memikirkan nasib Aneline.

****
           Aneline duduk dipinggir kaca kamarnya memandangi rembulan, bintang Sirius dan garis kelam yang terbentang ditengah-tengah cakrawala yang menghitam. Semua tampak indah. Tapi keindahan itu tidak ada yang abadi, semuanya akan lenyap dan hilang tanpa bekas. Aneline mengusap air mata yang kembali menetes dari pipinya. Selama hampir dua bulan ia menikah dengan Justin, tiada hari tanpa mengeluarkan air mata. Pria bermata platina itu nyaris setiap hari berlaku ketus dan dingin kepadanya sama sekali tidak pernah berkata lembut atau mengusap kepalanya, itu mustahil. Aneline mengulang klise lama dibenaknya, waktu dimana ia masih berada didalam rengkuhan kedua orang tuanya. Seperti  yang pernah ia katakan, didunia ini tidak ada yang abadi. Semuanya tidak ada yang kekal, dan semuanya pasti akan berakhir secara perlahan dan misterius.

           “tidak adakah pekerjaan yang jauh lebih baik selain menangis konyol seperti itu?”Justin tiba-tiba berada didepan pintunya dengan shirtless tanpa mengenakan pakaian. Dada bidangnya terlihat dengan perut sixpack terlihat datar. Aneline kembali mengusap airmatanya, Justin Bieber melemparkan kemeja abu-abunya tepat jatuh didalam rengkuhan bahu Aneline. Gadis itu sedikit terkejut heran.

           “kau setrika bajuku hingga rapi, jangan terlalu bodoh. Kau bekerja seperti itu saja tdiak becus. Kau benar-benar dapat dikatakan bodoh dalam hal mengurus suami”Justin mendesah menggeleng kepalanya kecil. Aneline menengadah kemudian mengangguk “kau mau kemana lagi malam ini?”tanya Aneline penuh selidik. Hampir tiap malam Justin akan keluar lantas akan kembali disaat waktu nyaris menunjukkan pukul tengah malam bahkan terkadang dilewat jam dua belas malam dengan aroma tequila yang memuakkan. Justin menatapnya dingin.

           “bukan urusanmu”Aneline dengan segenap keberanian kembali menatap sorot karamel itu lama. “tapi aku istrimu, aku berhak tahu kemana suamiku akan pergi”Justin tertawa meremehkan mendengar penuturan dari Aneline yang menurutnya teramat memuakkan. Istri? Oh ya tuhan, Justin begitu tidak ingin mempunyai istri seperti Aneline.

           “apa kau ingin pergi dengan Alberty?”Tanya Aneline penasaran. Justin kembali memutar matanya tajam. “tentu saja.. aku akan pergi dinner dengannya malam ini”dengkurnya tak peka bahkan sama sekali tak peduli apa yang Aneline rasakan saat ini. Ia tidak tahu, bagaimana sakitnya perasaan Aneline saat Justin mengatakan hal yang sejujurnya kali ini. Dan itu memang jauh teramat menyakitkan.
           “menangis lagi? Oh, berhentilah menangis. Aku muak melihat wajahmu saat menangis”tegur Justin Bieber lagi dan lagi dengan nada tak simpatik, Aneline menggeleng keras.

           “kapan kau berubah? Kapan kau menganggapku sebagai istrimu? Aku tahu kau tidak mencintaiku, tapi setidaknya cobalah untuk menghargai aku”Aneline bertukas, hampir dua bulan ini ia menahan rasa sakitnya terus-terusan yang bahkan makin mendera hingga kebagian relung hati terdalamnya. Jujur saja, batin Aneline begitu tersiksa melihat kelakuan Justin yang hampir tidak pernah berlaku baik kepadanya. Justin Bieber justru tidak pernah mengucapkan kata-kata manis dipagi hari, mengecup bibirnya sesekali atau apapun yang kerap dilakukan oleh pasangan suami istri. Dan Justin terlebih menyuruh Aneline untuk tidak tidur dikamarnya. Itu memang aneh. Begitu bencinya kah Justin dengan Aneline?

           “sampai akhirnya kau meminta cerai kepadaku..”guraunya tajam “aku sedang mengandung benihmu tapi tidak ada seinci sifatmu yang mengerahkan rasa simpatik terhadapku”Aneline menatap Justin penuh harap. Selama beberapa detik, pria itu tertawa penuh nada meremehkan.
           “oh yeah? Lalu apa yang harus aku lakukan, hmm? Berhentilah berlaku kekanak-kanakan. Aku sudah menikahmu dan bertanggung jawab dengan anak itu. Apa itu belum cukup?”Tegasnya kembali menatap Aneline penuh koyakan tajam. Gadis itu menggeleng lemah “belum. Aku ingin kau lebih peduli kepadaku, kau sudah beristri berhentilah berhubungan dengan Alberty. Jika dia memang gadis baik-baik justru ia akan merelakanmu untuk hidup bersamaku. Kau sudah menikah dan sebentar lagi kau akan menjadi ayah”Aneline bertukas dengan segenap rasa ngilu dihatinya, Justin mengepalkan tangannya terkungkung sempurna lantas dalam sekali gerakan dan dengan gerakan cepat jemarinya menampar pipi Aneline keras. Gadis itu tersentak jatuh tersungkur diatas lantai sembari mengusap jemarinya yang sepertinya sedikit mengeluarkan setitik darah. Ada rasa nyeri sekaligus panas menjalar dibilah pipi kanannya dalam sekejap. “Jaga bicaramu, gadis murahan!”

           Aneline diam mengusap jemarinya dalam-dalam. “Kau tidak berhak berkata sesuatu tentang Alberty, gadis itu jauh lebih baik dibanding dirimu. Seharusnya aku sudah menikah dan menjadi suaminya bukan menjadi suami dari gadis kampung sepertimu!”Suara Justin menggelegar penuh amarah. Aneline kembali menunduk, ia sama sekali tak berani melihat pria itu dalam keadaan marah. Bukan maksudnya untuk membuat Justin marah, bukan. Aneline hanya berpikir agar Justin sadar dan merubah sifatnya. Hanya itu saja. Namun sekiranya hal itu tidak akan pernah terjadi.

           “sekarang kau setrika bajuku! Jangan banyak berkomentar”gertaknya lantas beralih melangkah kembali pergi.
***

           “bagaimana caranya menyingkirkan gadis kampung itu? kita harus mencari cara untuk menyingkirkannya, lalu aku bisa menikah denganmu”Alberty mengusap lembut jemari Justin yang tergolek diatas meja dengan sedikit manja penuh permohonan. Justin diam berusaha berpikir sejenak sementara suara riuh pengunjung restaurant dan alunan mellow dari musik yang mengalun berusaha mempengaruhi pikirannya secara diam-diam.

           “aku tidak tahu.. kau tahu, kedua orang tuaku tidak mengizinkan jika aku bercerai dengan Aneline terkecuali jika gadis itu sendiri yang menggugat cerai kepadaku”Alberty kentara menghela nafas panjang tampak teramat sebal kemudian kembali menatap sorot platina Justin dalam. “kalau begitu desak ia untuk bercerai denganmu”ketusnya lagi.

           “mendesaknya? Mendesaknya bagaimana?”tanya Justin sama sekali tidak mengerti. Alberty mengulas senyumnya licik.
           “kau paksa dia untuk bercerai denganmu”gertak gadis itu selanjutnya dengan nada licik amat kentara. Justin sedikit tersentak berusaha berpikir keras memikirkan kata-kata Alberty. Mendesak Aneline. Oh itu begitu mustahil dan nyaris tak bisa dilakukan, Justin kembali tergerak menggeleng kecil seolah sama sekali tidak begitu setuju. Alberty melengos. “kenapa? Kau tidak mau menikah denganku? Kau ingin memutuskan hubungan denganku?”

           “bukan, bukan seperti itu. Maksudku, aku tidak mungkin mendesaknya. Karena ia sedang hamil benih anakku”Gadis itu tampak pias kemudian mengusap permukaan wajah Justin dengan halus seolah-olah berusaha untuk menggoda, tampak sedikit liar.

           “kau bisa mengugurkan kandungannya bukan? Hmm begitu banyak cara yang dapat kita lakukan. Atau kau mau jika aku yang melakukan hal itu?”lambat laun Justin kini mengerti namun tidak semudah itu ia setuju. Justin kembali menggeleng sementara Alberty makin terlihat kesal. “lalu maumu itu bagaimana?”gertaknya dengan nada sebal.
           “aku tidak mungkin membunuh darah dagingku sendiri”Justin berusaha membayangkan bagaimana jadinya jika hal itu terjadi, sejujurnya ia akan menjadi makhluk paling berdosa karena telah mencoba membunuh makhluk tak berdosa didalam rahim Aneline. Alberty kembali menggengam jemari Justin didepan wajahnya seolah ingin lebih meyakinkan lagi.

           “kalau begitu biar aku yang melakukan hal itu, hmm … sepertinya ini akan menjadi sesuatu yang begitu menarik. Kau tinggal lihat hasilnya nanti. Sebentar lagi aku akan menjadi milikmu”Justin menarik alis tampak penasaran dengan dahi yang mengernyit. Ia tidak pernah tahu rencana apa yang ada dibalik pikiran Alberty, Ia tidak tahu seberapa licik tabiat gadis itu dibalik wajah cantiknya dan yang Justin tahu. Alberty adalah sosok gadis sempurna yang cerdas dan rupawan.
           “kau lihat saja nanti.. “dengusnya menarik seulas senyum terbilang sangatlah licik.
***

           Aneline meronta dan menjauh saat secangkir teh panas yang baru saja ia berikan pada Justin disembur dan disiram pria itu cepat ketubuhnya. Tubuh Aneline seolah terbakar dengan rona merah nyaris menyembul disekujur kulitnya yang terkena air panas. Justin menatapnya tajam.
           “dasar gadis bodoh. Aku menyuruhmu untuk membuat soft drink dingin bukan teh panas”Aneline terkesiap merasakan sekujur tubuhnya terasa panas sekaligus perih dalam waktu bersamaan. Justin menggeleng lantas menatapnya dengan pandangan seolah menyerbu tajam. “a..biar aku buat yang baru”desis Aneline merasa bersalah kemudian mengambil cangkir gelas dengan sedikit tergesa-gesa dan gemetar. Justin menggertak keras.

           “tidak perlu.. aku sudah tidak mood karena ulahmu”dengkurnya lantas bangkit dari atas sofa beranjak untuk keluar dari dalam rumah. “aku hampir lupa. Aku lupa memberimu uang belanja”Justin kembali teringat kemudian mengeluarkan dompet kulit dari dalam saku celana kantronya kemudian beringsut mengeluarkan beberapa selembar uang lima dollar seraya melemparkannya dihadapan Aneline. Gadis itu mengernyit. “Justin.. ini untuk belanja apa?”tanyanya heran.

           “belanja untuk membeli bahan makan malam”dengusnya melengos kesal. Aneline menggeleng tak mengerti. Uang lima dollar sama sekali tak berarti apa-apa di Amerika, bahkan mungkin hanya mendapatkan tiga potong paha ayam ukuran kecil. “tapi uang ini tidak cukup”Desis Aneline lagi, Justin menatapnya ketus seolah tidak peduli.

           “tak cukup? Kalau begitu jual saja dirimu agar uang itu cukup”gertaknya kasar. Aneline terhentak mendengar kata-kata yang teramat kasar itu dan cukup membuat ngilu disekujur hatinya, ada rasa nyeri yang diam-diam menjalar. Aneline bergetar mendengar kata-kata yang teramat menohok itu. Justin lantas berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya untuk keluar dari dalam rumah.

           Aneline terduduk lemas diatas ubin marmer ruang tengah rumahnya. Sungguh demi apapun, gadis bermata hijau terang itu begitu tak sanggup mendengar kata-kata Justin yang setiap hari selalu kasar. Batinnya tersiksa dan secara tidak langsung menggangu kondisi fisiknya, tidak pernah terbersit dipikiran Justin sekalipun untuk membuat Aneline senang atau setidaknya merasa sedikit tersenyum. Nyaris tiap malam ia menangis dan bangun dengan kondisi mata yang sembab, memeluk guling erat-erat berharap bahwa ia dapat merasakan pelukan Justin dengan penuh kasih sayang. Walaupun setidaknya terkesan begitu mustahil. Itu hanya mimpi dan sesungguhnya sulit untuk terlaksana, Justin selamanya tidak akan pernah berubah. Ia akan selalu sama. Terlalu dingin, terlalu ketus, terlalu kejam.
***

           Aneline berpikir keras, kemudian berjalan menuju kedalam pasar. Uang lima dollar tentunya dapat membeli apa? Ini Amerika dengan segala bahan pokok serba mahal. Gadis bermata hijau rumput itu memutar benaknya keras kemudian berjalan menghampiri para pengunjung yang tampak susah mengangkat barang belanjannya.
           “permisi, apa ada yang dapat dibantu nonna?”Tanya Aneline berusaha menawarkan pertolongan dengan nada ramah penuh tata krama. Seorang wanita renta dengan rona keriput diwajahnya itu tersenyum kecil. Tampak manis walaupun ditutupi sedikit kulit yang mulai berkerut, mungkin umurnya kisaran diatas enam puluh tahun.

           “oh yeah tentu saja, aku keberatan membawa barang belanjaan ini”desah wanita tua itu menunjuk kearah beberapa kantung keranjang belanjaan yang kali ini terletak didepannya. Aneline tersenyum kecil lantas beberapa detik mengangguk penuh ceria. 
           “mau kubantu nonna? Biar aku yang membawa barang belanjaan anda”Aneline mengambil gerakan membawa kantung kerajaan berisi sayu mayor hijau itu digenggaman kanan dan kirinya. Nonna renta itu tersenyum kecil kemudian berjalan seiringin mencari mobilnya yang terparkir dipinggir jalan.

           “bawa kesini”suaranya kembali terdengar hampir tenggelam dengan desas desus para pembeli dan penjual yang berteriak riuh saling tawar menawar barang dagangan. Aneline mengangguk lantas membawa keranjang sayur itu dengan susah payah. Gerakannya terhenti tepat didepan sebuah mobil hitam bermodel klasik. Seperti model mobil zaman dahulu kala, sebuah sedan dengan model yang panjang. Wanita tua itu terlihat membuka bagasi lantas memberi perintah Aneline untuk memasukkan barang belanjaan itu didalamnya. Aneline kembali tersenyum mengerti, kemudian mengangkat keranjang berisi sayur hijau itu masuk dengan sempurna kedalam bagasi.

           “Terimakasih, ini bayaranmu”wanita renta itu menutup bagasinya dengan halus kemudian mengeluarkan beberapa lembar dollar dari balik dompet kulit tuanya dengan warna yang hampir memudar. Angeline tersenyum kemudian meraih lembaran dollar itu seraya tersenyum kecil. “Oh yeah, terimakasih”Aneline meraihnya dengan seulas senyum terkulum dengan lebar. Digenggamnya uang itu dengan sedikit perasaan lega dan setidaknya ia bisa membuat makan malam spesial untuk Justin malam ini. Mungkin ia bisa membuat seafood saus tiram atau mungkin lasagna kesukaannya. Oh, itu yang begitu baik. Aneline tidak ingin melihat Justin marah atau berekspresi keruh dihadapannya lagi.

           Aneline mulai melangkah masuk kedalam pasar, gadis bermata hijau rumput itu kembali menenteng keranjang belanjaan dipergelangan tangan kanannya sembari menilik mencoba mencari bahan makanan kesukaan Justin untuk nanti malam. “Sini kau!”Tiba-tiba dalam suasana yang ramai dan sesak, sebuah tangan kasar berlapis sarung tangan hitam menyerbu nafas Aneline sesak. Gadis itu meronta namun dengan gerakan cepat pria misterius itu menarik tubuh gadis berambut blonde itu untuk keluar dari dalam pasar yang ramai dan membawanya masuk kedalam sebuah mobil tua. Aroma asam bercampur alkohol menembus nafasnya dengan kuat, merangsang otak Aneline menimbulkan rasa mual mengocok seolah meremas perutnya keras.

           “Kalian siapa?”Aneline memutar kepalanya melihat pria berambut panjang dengan bulu janggut tebal melingkar diantara hidung dan bibirnya, terlihat begitu menyeramkan. Pria itu tertawa dengan sejuta kelicikan yang tampak teramat nyata lantas mengangkat dagu Aneline keras-keras.
           “aku akan membunuh janinmu”Suaranya dapat dipastikan seperti mengerang seram dibanding bergumam halus. Aneline seolah tercekik lantas meronta keras berusaha terlepas dari genggaman kuat para pria misterius bertampang mafia. Salah satu pria paling menyeramkan diantara mereka menyembul dari balik jok depan kemudian mengeluarkan sebuah obat cair dari balik botol kecil diantara selipan tali pinggang kulitnya. Untuk beberapa detik, Aneline memutar otak seraya menyipitkan sudut matanya berusaha meneliti obat itu lebih jelas lagi.

           Pria seram itu mengeluarkan sebuah suntikan dengan jarum panjang diatasnya, obat cairan ia larutkan masuk dan menyatu dengan ujung jarum suntikan kemudian kembali menyeringai licik. “sudah siap, nonna? Silahkan ucapkan kata selamat tinggal pada janin bodohmu itu”gertak pria itu lagi dan lagi menyeringai tampak teramat menakutkan. Aneline menggeleng.

           “Kau mau melakukan apa? Jangan sentuh janinku! Jangan—“belum sempat kata-kata itu terucap, sebuah tangan kembali merengkuh bibirnya kuat membuat gadis bermata hijau rumput itu kesulitan untuk berbicara. Aneline menjerit keras kemudian meronta berusaha agar ujung suntikan tidak mengenai permukaan kulitnya. Tapi semua itu sia-sia, dengan gerakan terlatih. Pria itu menyuntik ujung jarum suntikan melalui pergelangan tangan Aneline. Larutan yang berada didalamnya perlahan-lahan ditekan dan masuk kedalam tubuh gadis itu, Aneline merasakan tubuhnya lemas ingin sumbang. Kepalanya didera rasa nyeri akut, tubuhnya seolah berputar hebat dan pandangan Aneline semuanya memburam lantas berubah hitam. Gelap. Sirna. Tak membekas. Terakhir kali yang ia rasakan hanya suara derak tawa bergemericing seolah menggema tak berujung ditelinganya.

****
           Justin Bieber menjambak rambutnya keras-keras menyadari kebodohan yang ia lakukan. Aku memang bodoh. Kata-kata itu seolah menghantui pikiran Justin beberapa kali, menggema dan menjadi momok paling menakutkan. Justin menggeleng sembari memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tidak pernah merasa bahagia, ia merasa bahwa sosok Alberty adalah sosok Cleopatra yang nyaris sempurna dan memandang Aneline dengan gelap sebelah mata.
           Alberty selalu ia agungkan sementara Aneline kerap kali ia remehkan dan Justin begitu buta tentang itu. Pria itu beranjak dari kursi ruang tunggu didepan ruang unit gawat darurat begitu melihat seorang dokter yang menangani Aneline keluar dari dalam ruangan, wajah pucat pasinya berubah makin panik menunggu sebuah kepastian. Dokter itu menunduk dengan riak wajah terlihat pasrah. Justin menggeleng.

           “katakan padaku, apa yang terjadi? Apa?”Justin benar-benar tak bisa mengontrol emosinya. Patricia Mallete dan Jerremy langsung menahan tubuh Justin untuk diam sekedar menenangkan emosi. Justin mendengus, membuang nafasnya panjang. “maafkan kami, tapi.. sepertinya.. janin anda tidak bisa diselamatkan”Dokter tersebut berusaha menatap mata cokelat terang Justin penuh permohonan maaf, Justin ingin merosot sumbang. Ingin Terjatuh tidak ada daya, dalam sedetik air mata tumpah meruah hingga kedagunya. Ada perasaan penuh rasa bersalah sekaligus sesak terus terbayang didadanya.

           “dimana istriku? Apakah dia selamat?” Tanya Justin dengan nada serak nyaris tak bersuara, sebuah keajaiban. Kemana saja dia selama ini? dan hampir dua bulan menikah baru kali ini Justin Bieber berani mengakui bahwa Aneline adalah istrinya, dokter itu mengangguk namun dengan ekspresi wajah tampak dirundung pilu yang nyaris tak bisa ditutupi sedikitpun. “istri anda tidak apa-apa, namun ia dalam kondisi koma karena  begitu banyak kehabisan darah”Justin terdiam. Sebuah palu besar kembali menghantam pikirannya dengan kuat kemudian dengan tergesa beralih berjalan melewati dokter itu lantas membuka pintu yang berderak, tubuhnya kembali gemetar melihat sosok lemah Aneline terbaring lemas dengan puluhan selang melingkar diantara tubuh kecilnya. Dengan sekantung infus mengalir memberikan sedikit cairan menyatu bersama darahnya.

           “maafkan aku, ini semua salahku”desis Justin kemudian berjalan mendekat, aroma alkohol rendah bercampur betadine menyerbu hidungnya dengan asam. Sorot matanya sama sekali tak beralih menatap Aneline. Semua kejadian yang pernah terjadi kembali terbesit ulang dibenaknya. Ia memang pria bodoh yang tidak pernah menyadari seluruh kebaikan Aneline, ia selalu menganggap gadis itu gadis murahan. Ia selalu menganggap Aneline sebagai gadis kampung tidak berpendidikan, Justin sama sekali tidak menyadari bagaimana perlakuan sempurna Aneline sebagai istrinya. Saat dimana gadis itu menyambutnya tiap malam dengan seulas senyum lebar, Justin tidak pernah melihat Aneline mengeluh. Tidak pernah, gadis itu selalu saja menyembunyikan kesedihannya dari balik senyumnya yang palsu. Aneline selalu terlihat bahagia dihadapan Justin, padaal Justin sendiri tahu apa yang kerap gadis bermata hijau itu rasakan. Dari bola matanya, dari senyumnya ia bisa melihat bahwa Aneline begitu tersiksa.

            teringat bagaimana Aneline menangis setiap malam. Justin tahu itu, Justin sering melihatnya dari balik pintu kamar. Namun apa yang ia lakukan? Justin kembali marah, meremehkan Aneline dengan segala kemampuannya. Setitik air mata kembali mengalir dari sudut kelopak matanya yang mulai menghitam. Ia telah salah menilai Aneline dan Alberty, Alberty. Gadis itu benar-benar gadis  bermuka dua, Alberty memanfaatkan Justin untuk mendapatkan kekayaannya. Wajah cantik dengan garis rupawan dan segala sifat penuh tata kramanya hanya sebatas topeng untuk menutupi hati busuknya.

           “Ju..s..t..i..n”suara serak Aneline tiba-tiba membungkam keheningan yang mencekam, pria itu menengadah kemudian mendekat dan dengan gerakan dapat dikatakan terkejut menatap sorot hijau yang meredup itu lekat-lekat.
           “maafkan aku, aku tidak bisa menjaga janin kita. Maafkan aku”desis Aneline dengan rasa bersalah terdengar begitu jelas. Justin diam, tubuhnya lunglai tak mampu berkata-kata. Ini semua salahnya, bukan salah Aneline. Bukan. Tidak sama sekali. Justin hanya bisa terdiam.

           “kau bisa menceraikan aku, aku hanya gadis kampung tak berguna. Aku terlalu hina jika disandangkan dengan orang sepertimu. Aku hanya bisa menghancurkan reputasimu, aku benar-benar gadis tidak tahu diri”Aneline kembali menyalahkan dirinya sendiri. Justin Bieber menunduk kemudian bangkit dan mencium bibir Aneline lembut, melumatnya perlahan selama beberapa detik, membiarkan bibir tipisnya menyentuh bibir Aneline yang memucat. Aneline kentara sekali begitu terkejut, sorot hijaunya sama sekali tak mengerjap. Justin meletakkan jemarinya diantara bibir Aneline yang membungkam.“jangan katakan apa-apa lagi, aku mohon. Ini bukan salahmu, ini salahku. Aku bersalah telah membuatmu seperti ini. Aku minta maaf”Justin menatap mata Aneline lama, ada pancaran hangat penuh ketulusan yang selama ini tidak pernah ia dapatkan. Sesuatu yang membeku dari pandangan itu telah meleleh membuat Aneline tak percaya. Gadis itu menatap Justin Bieber penuh harap.

           “apa kau sedang bercanda? Kau tidak mempermainkan aku? Aku siap jika kau ingin menikah dengan Alberty. Gadis itu jauh lebih cocok denganmu, ia cantik, pintar dan berkarir tidak seperti diriku. Aku tidak cocok denganmu”Aneline bergema, air mata kembali meluncur hingga kepipinya. Justin tersenyum, jemarinya naik kemudian mengusapnya lembut beberapa kali.

           “No, kau salah. Kau sempurna dimataku, kau itu istri yang sempurna. Jangan katakan apa-apa lagi didepanku. Aku ingin kita mulai semuanya dengan lembaran baru. Mengerti?”Justin tersenyum. Untuk pertama kali Aneline melihat senyuman indah itu terkunkung untuk dirinya, yeah senyuman itu senyuman untuk dirinya. Senyuman indah memancarkan sejuta kehangatan, melelehkan segala sesuatu yang membeku. Justin kembali mengecup bibir Aneline lama. Menyatukan perasaannya dengan rasa cinta yang tumbuh dihati Aneline.

-------

join with my twitter : https://twitter.com/comeput_soon