Senin, 27 Mei 2013

Little Mistake (Oneshoot)


Aneline Crapsto
Title     : Little Mistake
Length : Oneshoot
Genre   : Sad, Romance
Rating         : T-14

 --------------------------------

           “Mom gila? Aku tidak mungkin menikahinya”Suara Justin Bieber menggema diruang rumahnya yang bertingkat dengan desan klasik kuno, cahaya temaram oranye dari lampu Kristal yang menggantung diatas atap tampak berpendar dalam ruangan. Patricia Mallete diam tak mampu berkata-kata, ada rasa sesak membayang dan menohok dadanya  dalam-dalam.
           “ini semua salahmu.. kau telah meniduri gadis lain, dan kau harus bertanggung jawab. Jangan buat nama keluarga kita tercoreng”desis Patricia gemetar sesekali tergeragap. Justin memutar sorot platinanya menatap wajah Aneline yang memerah dengan genangan airmata menggenang dibawah kelopak matanya yang menghitam. Jerremy Bieber mengepalkan tangannya keras tak sanggup membayangkan kejadian yang terjadi hari ini.

           “Anak kurang ajar, kau aku didik dengan baik-baik tapi ternyata ini balasanmu?”desis Jerremy dengan amarah yang kentara. Justin menunduk menarik nafas dalam-dalam kemudian mendesah perlahan. “kau bereskan masalah ini. Kau nikahi dia, kau harus bertanggung jawab. Jadilah laki-laki yang dapat diandalkan”Jerremy kembali bertukas dengan nada tegas yang nyata. Justin kembali mendongkak lantas menggeleng keras. “Tapi.. aku menidurinya dalam kondisi tidak sadar, aku terpengaruh alkohol”

           “terserah apa alasanmu itu.. jangan buat nama keluarga kita hancur”Jerremy mendengkur dengan mata yang memerah kemudian berjalan berbalik masuk kedalam kamarnya diiringi dengan Patricia yang mengekor. Justin Bieber diam tak sanggup berkata-kata sementara suara isak tangis masih terdengar sesengukan. Sorot karamelnya kembali berputar melihat wajah Aneline dengan pandangan geram.

           “ini semua karenamu, dasar gadis murahan. Kau pasti mencoba untuk menjebakku.. kau ingin menguasai harta keluargaku dan kau mencari cara dengan tidur denganku”Justin menggertak penuh penekanan sembari menatap Aneline tajam. Gadis bermata toska itu menggeleng dengan lutut sendi seolah gemetar ingin runtuh“aku bersumpah.. aku tidak sekeji itu, aku tidak pernah menjebakmu. Malam itu aku terpengaruh oleh alkohol dan aku melakukan itu diluar kesadaranku”desis Aneline menjelaskan dengan suara memecah sumbang. Justin menarik senyumnya hambar
            “gadis murahan!”Justin masih senantiasa mengumpat menatap Aneline setajam-tajamnya. Aneline gemetar ketakutan sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam sama sekali tak mempunyai keberanian untuk menatap sorot karamel yang berpijar tajam itu. Justin lantas berbalik dan berjalan kedalam kamarnya dengan amarah nyaris memuncak meninggalkan sosok Aneline diam sendirian ditengah rumahnya. Gadis itu menangis ketakutan sembari mengenggam liontin foto kedua orangtuanya yang melingkar sempurna dilehernya. Aneline Crapsto. Ia hanya seorang gadis desa sebatang kara, orang tuanya telah meninggal sepekan yang lalu karena kebakaran rumah dan kemarin hari ia pergi ke Washington untuk mencari pekerjaan sekaligus menemui sahabatnya. Alexandra Jade, dan ternyata malam itu hari kurang beruntungnya. Yeah ia diajak wanita brunnete itu untuk menemaninya kebar lantas meminum beberapa lokiwhiski hingga kejadian diluar kesadaran itu terjadi.

           “ayah, ibu.. maafkan aku.. aku benar-benar seorang anak tak tahu diri. Aku tidak bisa menjaga amanat kalian untuk tetap menjaga diriku sendiri”Desis Aneline dengan rasa bersalah yang mendera. Air mata masih tetap mengalir dibawah kelopak matanya yang mengerucut. Garis-garis mata tampak tergores disudut matanya.

***
           Suara jam katedral berdentang dengan matahari condong kebarat nyaris tenggelam. Pernikahan Justin dan Aneline baru saja selesai dengan beberapa kerabat yang datang—hanya sekedar kerabat terdekat tanpa mengundang banyak tamu. Justin mendengus keras sama sekali tak simpatik atau antusias dengan perkawinan kecelakaan ini. Tentu, ini dapat disebut sebagai sebuah kecelakaan. Ia meniduri Aneline tanpa sadar, tanpa cinta dan pastinya ia menikah tanpa didasari perasaan cinta. Apakah itu dapat dikatakan sebagai sebuah pernikahan sejati? Rambut tembaganya terlihat bersinar terpantul cahaya senja kekuningan lembayur dari mentari yang akan condong balik kembali keperaduan. Aneline senantiasa terdiam, tak sanggup berkata sepatah kata apapun. Diam-diam gadis itu berdiri dibelakang Justin yang kali itu tengah berada dihadapan kaca besar katedral mengamati detik-detik sunset indah diluar sana. Aneline berusaha mengulum senyum lantas menyentuh pundak Justin takut-takut.

           “jangan berani untuk menyentuhku.. kau sama sekali bukan siapa-siapa”Justin tergerak kemudian berbalik. Pandangan itu kembali menohok tatapan Aneline tajam, gadis bermata hijau rumput itu sedikit tersentak kemudian mundur beberapa langkah. “aku istrimu”Desisnya berkaca-kaca. Justin menarik alisnya tinggi dengan raut wajah persegi tergambar dingin.
           “Istriku? Hanya sekedar status, tapi nyatanya aku sama sekali tidak mencintaimu”tukasnya penuh keketusan yang nyata. Aneline terpekik kemudian menatap Justin dengan sorot lensa yang berair, warna hijau sorot matanya nyaris memudar terkena buraman lelehan airmata.

           “ingat, aku menikah denganmu itu karena aku tidak mau menanggung malu karena telah menghamili seorang gadis murahan seperti macamnya dirimu. Jangan terlalu berharap banyak denganku”Justin mengoreksi lebih jelas lagi namun terdengar.. amat menyakitkan. Aneline menggeleng kecil. “aku tahu, kau tidak mencintaiku.. aku tahu”desisnya terputus nyaris hilang ditelan isak tangis airmata. Justin tersenyum kecut.

           “bagus jika kau mengetahui itu.. kau itu tak lebih hanya seorang gadis kampung berotak licik dan sama sekali tidak pantas untuk menjadi nyonya Bieber. Kau tidak berpendidikan tinggi dan sama sekali bukan wanita berkarir. Kau jika dibandingkan dengan Alberty Avord tentu sangat jauh”Justin mendekatkan wajahnya penuh penekanan, wajah Aneline memerah. Ia tahu siapa Alberty Avord, gadis berambut ombre itu adalah pacar Justin selama tiga tahun. Alberty adalah gadis berkarir dan berpendidikan tinggi dan Aneline tahu bahwa Justin memang begitu mencintai Alberty.

           “aku tahu itu, aku memang hanya seorang gadis kampung”Aneline mengangkat suara. “Dan berotak licik untuk menjebakku”tambah Justin dingin. Aneline menggeleng keras sama sekali tak bermaksud. “aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjebakmu”
           “kau pikir aku percaya? Tidak disangka, ternyata otakmu itu jauh lebih jahat dibanding gadis metropolitan. Kau berbahaya seperti ular”tegas Justin makin menohok. Air mata Aneline untuk kesekian kali kembali keluar karena Justin. Lagi dan lagi karena pria bermata tembaga itu, kenapa ia tidak pernah percaya? Aneline tidak pernah berpikiran buruk untuk menjebak Justin. Tidak akan pernah. Ia adalah gadis lugu yang terperangkap dalam suasana metropolitan, Alexandra yang waktu itu memaksanya untuk mencicipi whiski untuk pertama kali. Dikampung sama sekali tidak terdapat whiski mahal atau margarita dan jenis alkohol lainnya dan Aneline tidak pernah tahu jika semua kejadian itu akan berdampak menjadi sebuah masalah besar.

           “percuma kau menangis, usap air mata memuakkanmu itu. Jangan mencoba untuk mencari muka dengan kedua orang tuaku. Mengerti?”Justin mendekatkan wajahnya penuh kata-kata tajam. Aneline memejamkan kelopak matanya kemudian jemarinya beralih mengusap lelehan hangat yang mengalir hingga kedagu.

           “terserah apa yang kau pikirkan tentangku. Yang jelas, aku sama sekali tidak selicik itu”Aneline menambahkan diiringi dengan kerlingan tak peduli dari Justin. Pria itu mengangkat kedua bahunya tak peduli lantas melengos keluar sama sekali tak memikirkan nasib Aneline.

****
           Aneline duduk dipinggir kaca kamarnya memandangi rembulan, bintang Sirius dan garis kelam yang terbentang ditengah-tengah cakrawala yang menghitam. Semua tampak indah. Tapi keindahan itu tidak ada yang abadi, semuanya akan lenyap dan hilang tanpa bekas. Aneline mengusap air mata yang kembali menetes dari pipinya. Selama hampir dua bulan ia menikah dengan Justin, tiada hari tanpa mengeluarkan air mata. Pria bermata platina itu nyaris setiap hari berlaku ketus dan dingin kepadanya sama sekali tidak pernah berkata lembut atau mengusap kepalanya, itu mustahil. Aneline mengulang klise lama dibenaknya, waktu dimana ia masih berada didalam rengkuhan kedua orang tuanya. Seperti  yang pernah ia katakan, didunia ini tidak ada yang abadi. Semuanya tidak ada yang kekal, dan semuanya pasti akan berakhir secara perlahan dan misterius.

           “tidak adakah pekerjaan yang jauh lebih baik selain menangis konyol seperti itu?”Justin tiba-tiba berada didepan pintunya dengan shirtless tanpa mengenakan pakaian. Dada bidangnya terlihat dengan perut sixpack terlihat datar. Aneline kembali mengusap airmatanya, Justin Bieber melemparkan kemeja abu-abunya tepat jatuh didalam rengkuhan bahu Aneline. Gadis itu sedikit terkejut heran.

           “kau setrika bajuku hingga rapi, jangan terlalu bodoh. Kau bekerja seperti itu saja tdiak becus. Kau benar-benar dapat dikatakan bodoh dalam hal mengurus suami”Justin mendesah menggeleng kepalanya kecil. Aneline menengadah kemudian mengangguk “kau mau kemana lagi malam ini?”tanya Aneline penuh selidik. Hampir tiap malam Justin akan keluar lantas akan kembali disaat waktu nyaris menunjukkan pukul tengah malam bahkan terkadang dilewat jam dua belas malam dengan aroma tequila yang memuakkan. Justin menatapnya dingin.

           “bukan urusanmu”Aneline dengan segenap keberanian kembali menatap sorot karamel itu lama. “tapi aku istrimu, aku berhak tahu kemana suamiku akan pergi”Justin tertawa meremehkan mendengar penuturan dari Aneline yang menurutnya teramat memuakkan. Istri? Oh ya tuhan, Justin begitu tidak ingin mempunyai istri seperti Aneline.

           “apa kau ingin pergi dengan Alberty?”Tanya Aneline penasaran. Justin kembali memutar matanya tajam. “tentu saja.. aku akan pergi dinner dengannya malam ini”dengkurnya tak peka bahkan sama sekali tak peduli apa yang Aneline rasakan saat ini. Ia tidak tahu, bagaimana sakitnya perasaan Aneline saat Justin mengatakan hal yang sejujurnya kali ini. Dan itu memang jauh teramat menyakitkan.
           “menangis lagi? Oh, berhentilah menangis. Aku muak melihat wajahmu saat menangis”tegur Justin Bieber lagi dan lagi dengan nada tak simpatik, Aneline menggeleng keras.

           “kapan kau berubah? Kapan kau menganggapku sebagai istrimu? Aku tahu kau tidak mencintaiku, tapi setidaknya cobalah untuk menghargai aku”Aneline bertukas, hampir dua bulan ini ia menahan rasa sakitnya terus-terusan yang bahkan makin mendera hingga kebagian relung hati terdalamnya. Jujur saja, batin Aneline begitu tersiksa melihat kelakuan Justin yang hampir tidak pernah berlaku baik kepadanya. Justin Bieber justru tidak pernah mengucapkan kata-kata manis dipagi hari, mengecup bibirnya sesekali atau apapun yang kerap dilakukan oleh pasangan suami istri. Dan Justin terlebih menyuruh Aneline untuk tidak tidur dikamarnya. Itu memang aneh. Begitu bencinya kah Justin dengan Aneline?

           “sampai akhirnya kau meminta cerai kepadaku..”guraunya tajam “aku sedang mengandung benihmu tapi tidak ada seinci sifatmu yang mengerahkan rasa simpatik terhadapku”Aneline menatap Justin penuh harap. Selama beberapa detik, pria itu tertawa penuh nada meremehkan.
           “oh yeah? Lalu apa yang harus aku lakukan, hmm? Berhentilah berlaku kekanak-kanakan. Aku sudah menikahmu dan bertanggung jawab dengan anak itu. Apa itu belum cukup?”Tegasnya kembali menatap Aneline penuh koyakan tajam. Gadis itu menggeleng lemah “belum. Aku ingin kau lebih peduli kepadaku, kau sudah beristri berhentilah berhubungan dengan Alberty. Jika dia memang gadis baik-baik justru ia akan merelakanmu untuk hidup bersamaku. Kau sudah menikah dan sebentar lagi kau akan menjadi ayah”Aneline bertukas dengan segenap rasa ngilu dihatinya, Justin mengepalkan tangannya terkungkung sempurna lantas dalam sekali gerakan dan dengan gerakan cepat jemarinya menampar pipi Aneline keras. Gadis itu tersentak jatuh tersungkur diatas lantai sembari mengusap jemarinya yang sepertinya sedikit mengeluarkan setitik darah. Ada rasa nyeri sekaligus panas menjalar dibilah pipi kanannya dalam sekejap. “Jaga bicaramu, gadis murahan!”

           Aneline diam mengusap jemarinya dalam-dalam. “Kau tidak berhak berkata sesuatu tentang Alberty, gadis itu jauh lebih baik dibanding dirimu. Seharusnya aku sudah menikah dan menjadi suaminya bukan menjadi suami dari gadis kampung sepertimu!”Suara Justin menggelegar penuh amarah. Aneline kembali menunduk, ia sama sekali tak berani melihat pria itu dalam keadaan marah. Bukan maksudnya untuk membuat Justin marah, bukan. Aneline hanya berpikir agar Justin sadar dan merubah sifatnya. Hanya itu saja. Namun sekiranya hal itu tidak akan pernah terjadi.

           “sekarang kau setrika bajuku! Jangan banyak berkomentar”gertaknya lantas beralih melangkah kembali pergi.
***

           “bagaimana caranya menyingkirkan gadis kampung itu? kita harus mencari cara untuk menyingkirkannya, lalu aku bisa menikah denganmu”Alberty mengusap lembut jemari Justin yang tergolek diatas meja dengan sedikit manja penuh permohonan. Justin diam berusaha berpikir sejenak sementara suara riuh pengunjung restaurant dan alunan mellow dari musik yang mengalun berusaha mempengaruhi pikirannya secara diam-diam.

           “aku tidak tahu.. kau tahu, kedua orang tuaku tidak mengizinkan jika aku bercerai dengan Aneline terkecuali jika gadis itu sendiri yang menggugat cerai kepadaku”Alberty kentara menghela nafas panjang tampak teramat sebal kemudian kembali menatap sorot platina Justin dalam. “kalau begitu desak ia untuk bercerai denganmu”ketusnya lagi.

           “mendesaknya? Mendesaknya bagaimana?”tanya Justin sama sekali tidak mengerti. Alberty mengulas senyumnya licik.
           “kau paksa dia untuk bercerai denganmu”gertak gadis itu selanjutnya dengan nada licik amat kentara. Justin sedikit tersentak berusaha berpikir keras memikirkan kata-kata Alberty. Mendesak Aneline. Oh itu begitu mustahil dan nyaris tak bisa dilakukan, Justin kembali tergerak menggeleng kecil seolah sama sekali tidak begitu setuju. Alberty melengos. “kenapa? Kau tidak mau menikah denganku? Kau ingin memutuskan hubungan denganku?”

           “bukan, bukan seperti itu. Maksudku, aku tidak mungkin mendesaknya. Karena ia sedang hamil benih anakku”Gadis itu tampak pias kemudian mengusap permukaan wajah Justin dengan halus seolah-olah berusaha untuk menggoda, tampak sedikit liar.

           “kau bisa mengugurkan kandungannya bukan? Hmm begitu banyak cara yang dapat kita lakukan. Atau kau mau jika aku yang melakukan hal itu?”lambat laun Justin kini mengerti namun tidak semudah itu ia setuju. Justin kembali menggeleng sementara Alberty makin terlihat kesal. “lalu maumu itu bagaimana?”gertaknya dengan nada sebal.
           “aku tidak mungkin membunuh darah dagingku sendiri”Justin berusaha membayangkan bagaimana jadinya jika hal itu terjadi, sejujurnya ia akan menjadi makhluk paling berdosa karena telah mencoba membunuh makhluk tak berdosa didalam rahim Aneline. Alberty kembali menggengam jemari Justin didepan wajahnya seolah ingin lebih meyakinkan lagi.

           “kalau begitu biar aku yang melakukan hal itu, hmm … sepertinya ini akan menjadi sesuatu yang begitu menarik. Kau tinggal lihat hasilnya nanti. Sebentar lagi aku akan menjadi milikmu”Justin menarik alis tampak penasaran dengan dahi yang mengernyit. Ia tidak pernah tahu rencana apa yang ada dibalik pikiran Alberty, Ia tidak tahu seberapa licik tabiat gadis itu dibalik wajah cantiknya dan yang Justin tahu. Alberty adalah sosok gadis sempurna yang cerdas dan rupawan.
           “kau lihat saja nanti.. “dengusnya menarik seulas senyum terbilang sangatlah licik.
***

           Aneline meronta dan menjauh saat secangkir teh panas yang baru saja ia berikan pada Justin disembur dan disiram pria itu cepat ketubuhnya. Tubuh Aneline seolah terbakar dengan rona merah nyaris menyembul disekujur kulitnya yang terkena air panas. Justin menatapnya tajam.
           “dasar gadis bodoh. Aku menyuruhmu untuk membuat soft drink dingin bukan teh panas”Aneline terkesiap merasakan sekujur tubuhnya terasa panas sekaligus perih dalam waktu bersamaan. Justin menggeleng lantas menatapnya dengan pandangan seolah menyerbu tajam. “a..biar aku buat yang baru”desis Aneline merasa bersalah kemudian mengambil cangkir gelas dengan sedikit tergesa-gesa dan gemetar. Justin menggertak keras.

           “tidak perlu.. aku sudah tidak mood karena ulahmu”dengkurnya lantas bangkit dari atas sofa beranjak untuk keluar dari dalam rumah. “aku hampir lupa. Aku lupa memberimu uang belanja”Justin kembali teringat kemudian mengeluarkan dompet kulit dari dalam saku celana kantronya kemudian beringsut mengeluarkan beberapa selembar uang lima dollar seraya melemparkannya dihadapan Aneline. Gadis itu mengernyit. “Justin.. ini untuk belanja apa?”tanyanya heran.

           “belanja untuk membeli bahan makan malam”dengusnya melengos kesal. Aneline menggeleng tak mengerti. Uang lima dollar sama sekali tak berarti apa-apa di Amerika, bahkan mungkin hanya mendapatkan tiga potong paha ayam ukuran kecil. “tapi uang ini tidak cukup”Desis Aneline lagi, Justin menatapnya ketus seolah tidak peduli.

           “tak cukup? Kalau begitu jual saja dirimu agar uang itu cukup”gertaknya kasar. Aneline terhentak mendengar kata-kata yang teramat kasar itu dan cukup membuat ngilu disekujur hatinya, ada rasa nyeri yang diam-diam menjalar. Aneline bergetar mendengar kata-kata yang teramat menohok itu. Justin lantas berbalik dan kembali melanjutkan langkahnya untuk keluar dari dalam rumah.

           Aneline terduduk lemas diatas ubin marmer ruang tengah rumahnya. Sungguh demi apapun, gadis bermata hijau terang itu begitu tak sanggup mendengar kata-kata Justin yang setiap hari selalu kasar. Batinnya tersiksa dan secara tidak langsung menggangu kondisi fisiknya, tidak pernah terbersit dipikiran Justin sekalipun untuk membuat Aneline senang atau setidaknya merasa sedikit tersenyum. Nyaris tiap malam ia menangis dan bangun dengan kondisi mata yang sembab, memeluk guling erat-erat berharap bahwa ia dapat merasakan pelukan Justin dengan penuh kasih sayang. Walaupun setidaknya terkesan begitu mustahil. Itu hanya mimpi dan sesungguhnya sulit untuk terlaksana, Justin selamanya tidak akan pernah berubah. Ia akan selalu sama. Terlalu dingin, terlalu ketus, terlalu kejam.
***

           Aneline berpikir keras, kemudian berjalan menuju kedalam pasar. Uang lima dollar tentunya dapat membeli apa? Ini Amerika dengan segala bahan pokok serba mahal. Gadis bermata hijau rumput itu memutar benaknya keras kemudian berjalan menghampiri para pengunjung yang tampak susah mengangkat barang belanjannya.
           “permisi, apa ada yang dapat dibantu nonna?”Tanya Aneline berusaha menawarkan pertolongan dengan nada ramah penuh tata krama. Seorang wanita renta dengan rona keriput diwajahnya itu tersenyum kecil. Tampak manis walaupun ditutupi sedikit kulit yang mulai berkerut, mungkin umurnya kisaran diatas enam puluh tahun.

           “oh yeah tentu saja, aku keberatan membawa barang belanjaan ini”desah wanita tua itu menunjuk kearah beberapa kantung keranjang belanjaan yang kali ini terletak didepannya. Aneline tersenyum kecil lantas beberapa detik mengangguk penuh ceria. 
           “mau kubantu nonna? Biar aku yang membawa barang belanjaan anda”Aneline mengambil gerakan membawa kantung kerajaan berisi sayu mayor hijau itu digenggaman kanan dan kirinya. Nonna renta itu tersenyum kecil kemudian berjalan seiringin mencari mobilnya yang terparkir dipinggir jalan.

           “bawa kesini”suaranya kembali terdengar hampir tenggelam dengan desas desus para pembeli dan penjual yang berteriak riuh saling tawar menawar barang dagangan. Aneline mengangguk lantas membawa keranjang sayur itu dengan susah payah. Gerakannya terhenti tepat didepan sebuah mobil hitam bermodel klasik. Seperti model mobil zaman dahulu kala, sebuah sedan dengan model yang panjang. Wanita tua itu terlihat membuka bagasi lantas memberi perintah Aneline untuk memasukkan barang belanjaan itu didalamnya. Aneline kembali tersenyum mengerti, kemudian mengangkat keranjang berisi sayur hijau itu masuk dengan sempurna kedalam bagasi.

           “Terimakasih, ini bayaranmu”wanita renta itu menutup bagasinya dengan halus kemudian mengeluarkan beberapa lembar dollar dari balik dompet kulit tuanya dengan warna yang hampir memudar. Angeline tersenyum kemudian meraih lembaran dollar itu seraya tersenyum kecil. “Oh yeah, terimakasih”Aneline meraihnya dengan seulas senyum terkulum dengan lebar. Digenggamnya uang itu dengan sedikit perasaan lega dan setidaknya ia bisa membuat makan malam spesial untuk Justin malam ini. Mungkin ia bisa membuat seafood saus tiram atau mungkin lasagna kesukaannya. Oh, itu yang begitu baik. Aneline tidak ingin melihat Justin marah atau berekspresi keruh dihadapannya lagi.

           Aneline mulai melangkah masuk kedalam pasar, gadis bermata hijau rumput itu kembali menenteng keranjang belanjaan dipergelangan tangan kanannya sembari menilik mencoba mencari bahan makanan kesukaan Justin untuk nanti malam. “Sini kau!”Tiba-tiba dalam suasana yang ramai dan sesak, sebuah tangan kasar berlapis sarung tangan hitam menyerbu nafas Aneline sesak. Gadis itu meronta namun dengan gerakan cepat pria misterius itu menarik tubuh gadis berambut blonde itu untuk keluar dari dalam pasar yang ramai dan membawanya masuk kedalam sebuah mobil tua. Aroma asam bercampur alkohol menembus nafasnya dengan kuat, merangsang otak Aneline menimbulkan rasa mual mengocok seolah meremas perutnya keras.

           “Kalian siapa?”Aneline memutar kepalanya melihat pria berambut panjang dengan bulu janggut tebal melingkar diantara hidung dan bibirnya, terlihat begitu menyeramkan. Pria itu tertawa dengan sejuta kelicikan yang tampak teramat nyata lantas mengangkat dagu Aneline keras-keras.
           “aku akan membunuh janinmu”Suaranya dapat dipastikan seperti mengerang seram dibanding bergumam halus. Aneline seolah tercekik lantas meronta keras berusaha terlepas dari genggaman kuat para pria misterius bertampang mafia. Salah satu pria paling menyeramkan diantara mereka menyembul dari balik jok depan kemudian mengeluarkan sebuah obat cair dari balik botol kecil diantara selipan tali pinggang kulitnya. Untuk beberapa detik, Aneline memutar otak seraya menyipitkan sudut matanya berusaha meneliti obat itu lebih jelas lagi.

           Pria seram itu mengeluarkan sebuah suntikan dengan jarum panjang diatasnya, obat cairan ia larutkan masuk dan menyatu dengan ujung jarum suntikan kemudian kembali menyeringai licik. “sudah siap, nonna? Silahkan ucapkan kata selamat tinggal pada janin bodohmu itu”gertak pria itu lagi dan lagi menyeringai tampak teramat menakutkan. Aneline menggeleng.

           “Kau mau melakukan apa? Jangan sentuh janinku! Jangan—“belum sempat kata-kata itu terucap, sebuah tangan kembali merengkuh bibirnya kuat membuat gadis bermata hijau rumput itu kesulitan untuk berbicara. Aneline menjerit keras kemudian meronta berusaha agar ujung suntikan tidak mengenai permukaan kulitnya. Tapi semua itu sia-sia, dengan gerakan terlatih. Pria itu menyuntik ujung jarum suntikan melalui pergelangan tangan Aneline. Larutan yang berada didalamnya perlahan-lahan ditekan dan masuk kedalam tubuh gadis itu, Aneline merasakan tubuhnya lemas ingin sumbang. Kepalanya didera rasa nyeri akut, tubuhnya seolah berputar hebat dan pandangan Aneline semuanya memburam lantas berubah hitam. Gelap. Sirna. Tak membekas. Terakhir kali yang ia rasakan hanya suara derak tawa bergemericing seolah menggema tak berujung ditelinganya.

****
           Justin Bieber menjambak rambutnya keras-keras menyadari kebodohan yang ia lakukan. Aku memang bodoh. Kata-kata itu seolah menghantui pikiran Justin beberapa kali, menggema dan menjadi momok paling menakutkan. Justin menggeleng sembari memejamkan matanya rapat-rapat. Ia tidak pernah merasa bahagia, ia merasa bahwa sosok Alberty adalah sosok Cleopatra yang nyaris sempurna dan memandang Aneline dengan gelap sebelah mata.
           Alberty selalu ia agungkan sementara Aneline kerap kali ia remehkan dan Justin begitu buta tentang itu. Pria itu beranjak dari kursi ruang tunggu didepan ruang unit gawat darurat begitu melihat seorang dokter yang menangani Aneline keluar dari dalam ruangan, wajah pucat pasinya berubah makin panik menunggu sebuah kepastian. Dokter itu menunduk dengan riak wajah terlihat pasrah. Justin menggeleng.

           “katakan padaku, apa yang terjadi? Apa?”Justin benar-benar tak bisa mengontrol emosinya. Patricia Mallete dan Jerremy langsung menahan tubuh Justin untuk diam sekedar menenangkan emosi. Justin mendengus, membuang nafasnya panjang. “maafkan kami, tapi.. sepertinya.. janin anda tidak bisa diselamatkan”Dokter tersebut berusaha menatap mata cokelat terang Justin penuh permohonan maaf, Justin ingin merosot sumbang. Ingin Terjatuh tidak ada daya, dalam sedetik air mata tumpah meruah hingga kedagunya. Ada perasaan penuh rasa bersalah sekaligus sesak terus terbayang didadanya.

           “dimana istriku? Apakah dia selamat?” Tanya Justin dengan nada serak nyaris tak bersuara, sebuah keajaiban. Kemana saja dia selama ini? dan hampir dua bulan menikah baru kali ini Justin Bieber berani mengakui bahwa Aneline adalah istrinya, dokter itu mengangguk namun dengan ekspresi wajah tampak dirundung pilu yang nyaris tak bisa ditutupi sedikitpun. “istri anda tidak apa-apa, namun ia dalam kondisi koma karena  begitu banyak kehabisan darah”Justin terdiam. Sebuah palu besar kembali menghantam pikirannya dengan kuat kemudian dengan tergesa beralih berjalan melewati dokter itu lantas membuka pintu yang berderak, tubuhnya kembali gemetar melihat sosok lemah Aneline terbaring lemas dengan puluhan selang melingkar diantara tubuh kecilnya. Dengan sekantung infus mengalir memberikan sedikit cairan menyatu bersama darahnya.

           “maafkan aku, ini semua salahku”desis Justin kemudian berjalan mendekat, aroma alkohol rendah bercampur betadine menyerbu hidungnya dengan asam. Sorot matanya sama sekali tak beralih menatap Aneline. Semua kejadian yang pernah terjadi kembali terbesit ulang dibenaknya. Ia memang pria bodoh yang tidak pernah menyadari seluruh kebaikan Aneline, ia selalu menganggap gadis itu gadis murahan. Ia selalu menganggap Aneline sebagai gadis kampung tidak berpendidikan, Justin sama sekali tidak menyadari bagaimana perlakuan sempurna Aneline sebagai istrinya. Saat dimana gadis itu menyambutnya tiap malam dengan seulas senyum lebar, Justin tidak pernah melihat Aneline mengeluh. Tidak pernah, gadis itu selalu saja menyembunyikan kesedihannya dari balik senyumnya yang palsu. Aneline selalu terlihat bahagia dihadapan Justin, padaal Justin sendiri tahu apa yang kerap gadis bermata hijau itu rasakan. Dari bola matanya, dari senyumnya ia bisa melihat bahwa Aneline begitu tersiksa.

            teringat bagaimana Aneline menangis setiap malam. Justin tahu itu, Justin sering melihatnya dari balik pintu kamar. Namun apa yang ia lakukan? Justin kembali marah, meremehkan Aneline dengan segala kemampuannya. Setitik air mata kembali mengalir dari sudut kelopak matanya yang mulai menghitam. Ia telah salah menilai Aneline dan Alberty, Alberty. Gadis itu benar-benar gadis  bermuka dua, Alberty memanfaatkan Justin untuk mendapatkan kekayaannya. Wajah cantik dengan garis rupawan dan segala sifat penuh tata kramanya hanya sebatas topeng untuk menutupi hati busuknya.

           “Ju..s..t..i..n”suara serak Aneline tiba-tiba membungkam keheningan yang mencekam, pria itu menengadah kemudian mendekat dan dengan gerakan dapat dikatakan terkejut menatap sorot hijau yang meredup itu lekat-lekat.
           “maafkan aku, aku tidak bisa menjaga janin kita. Maafkan aku”desis Aneline dengan rasa bersalah terdengar begitu jelas. Justin diam, tubuhnya lunglai tak mampu berkata-kata. Ini semua salahnya, bukan salah Aneline. Bukan. Tidak sama sekali. Justin hanya bisa terdiam.

           “kau bisa menceraikan aku, aku hanya gadis kampung tak berguna. Aku terlalu hina jika disandangkan dengan orang sepertimu. Aku hanya bisa menghancurkan reputasimu, aku benar-benar gadis tidak tahu diri”Aneline kembali menyalahkan dirinya sendiri. Justin Bieber menunduk kemudian bangkit dan mencium bibir Aneline lembut, melumatnya perlahan selama beberapa detik, membiarkan bibir tipisnya menyentuh bibir Aneline yang memucat. Aneline kentara sekali begitu terkejut, sorot hijaunya sama sekali tak mengerjap. Justin meletakkan jemarinya diantara bibir Aneline yang membungkam.“jangan katakan apa-apa lagi, aku mohon. Ini bukan salahmu, ini salahku. Aku bersalah telah membuatmu seperti ini. Aku minta maaf”Justin menatap mata Aneline lama, ada pancaran hangat penuh ketulusan yang selama ini tidak pernah ia dapatkan. Sesuatu yang membeku dari pandangan itu telah meleleh membuat Aneline tak percaya. Gadis itu menatap Justin Bieber penuh harap.

           “apa kau sedang bercanda? Kau tidak mempermainkan aku? Aku siap jika kau ingin menikah dengan Alberty. Gadis itu jauh lebih cocok denganmu, ia cantik, pintar dan berkarir tidak seperti diriku. Aku tidak cocok denganmu”Aneline bergema, air mata kembali meluncur hingga kepipinya. Justin tersenyum, jemarinya naik kemudian mengusapnya lembut beberapa kali.

           “No, kau salah. Kau sempurna dimataku, kau itu istri yang sempurna. Jangan katakan apa-apa lagi didepanku. Aku ingin kita mulai semuanya dengan lembaran baru. Mengerti?”Justin tersenyum. Untuk pertama kali Aneline melihat senyuman indah itu terkunkung untuk dirinya, yeah senyuman itu senyuman untuk dirinya. Senyuman indah memancarkan sejuta kehangatan, melelehkan segala sesuatu yang membeku. Justin kembali mengecup bibir Aneline lama. Menyatukan perasaannya dengan rasa cinta yang tumbuh dihati Aneline.

-------

join with my twitter : https://twitter.com/comeput_soon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar