Senin, 27 Mei 2013

ALONE (Oneshoot)


Title     : ALONE
Length : Oneshoot
Genre   : Hurt, 
Words   : 6000 Words.

 ----
hope you enjoy. Setel lagu galau yak. Jangan setel Harlem Shake atau lagunya Sule, Mbah Surip, jangan juga setel lagu Gangnam Style.


---


           “Justin…”Aku mengangkat suaraku, memutar bola mataku kearah pria bermata karamel yang duduk dihadapanku. Dia berdeham lantas menatapku lagi dengan pandangan yang menurutku adalah tatapan hangat, lebih hangat dari perapian dimusim dangan. Tatapan yang lembut dan berhasil membuatku tegar untuk bertahan hidup didunia ini. Ya, dia adalah salah satu alasan terbesarku mengapa aku masih bisa mempertahankan sisa-sisa, detik-detik yang sangat berharga untuk tetap bernafas didunia ini bersama dirinya sejak dua tahun yang lalu aku resmi divonis oleh dokter mengidap penyakit meningitis, radang selaput otak.
          “Terimakasih, kau mau menerimaku apa adanya”jawabku lagi menatap kearah bola matanya. Aku bisa menemukan ada tatapan penuh cinta disana. Tatapan yang membuatku berani untuk bertahan. Berusaha berdiri dengan tungkai kakiku sendiri. Maksudku, dia adalah salah satu penopang sekaligus akar yang membuatku kokoh bertahan didunia ini.

          “Aku yang berterimakasih, karena kau masih mau bertahan…untukku”Sebelah jemarinya beringsut mengusap kedua tanganku. Meremasnya dengan lembut dan mengecup telapak tanganku dengan bibirnya yang setipis sari apel. Aku tersenyum lagi, hanya dengan Justin—dia—salah-satu sumber semangatku. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika aku tidak bersama Justin. mungkin, sekarang aku sudah mati tidak mampu bertahan lagi. Dia yang selalu mendukungku, membisikkan kata-kata manis saat aku sudah nyaris diambang kematian. Dia, suamiku yang menemani hidupku selama tiga tahun terakhir ini.

          “Aku tidak akan bisa bertahan, tanpamu”desisku. Justin langsung meletakkan telunjuknya dibibirku kemudian menggeleng perlahan. Lagi dan lagi, tatapan itu benar-benar meluluhlantahkan segala pertahan yang kokoh dalam diriku. “Kau bertahan, karena tuhan masih memberkatimu”tukasnya tegas, dengan intonasi suara sekuat baja. Tanpa ada keraguan atau samar-samar disana. Ya, dia benar-benar sumber penyemangatku. Aku diam, mengigit bibirku dalam-dalam merasakan ada rasa sesak menjalar disekujur dadaku. Sakit, sesak sekali. Aku merasa bahwa aku tidak bisa melaksanakan tugasku dengan baik sebagai istrinya, sebagai pendampingnya. Dia pantas…. Untuk mendapatkan yang lebih baik dari ini.
          “kau sudah terlalu lelah, Justin. Aku tidak mau kau menghabiskan waktu hidupmu untuk mengurusiku. Aku hanya seorag istri yang tidak bisa membahagiakanmu”entah kenapa aku merasakan ada sesuatu yang menggerogoti paru-paruku membuatku susah sekali merasakan oksigen disekitarku. Ada rasa tajam bercampur perih membuat sekitar dadaku begitu ngilu. Pandangannya kembali terarah padaku, bola mata karamelnya yang senada dengan warna madu itu menatapku.

          “Tidak, jangan pernah berpikiran seperti itu. Kau salah, Cady”Jemarinya kembali mengusap helaian rambut sesepuhan tembagaku lantas menyelipkannya disela-sela belakang daun telinganya. Jarinya kemudian menyentuh ujung daguku, mengangkatnya seakan menyuruhku untuk menatap kedua bola matanya yang berpijar hangat. Aku menurut, sama sekali tidak bisa mengelak. Dalam beberapa detik, aku terisak. Wajahku memanas, sekujur pipiku memerah seraya mengigit bibirku keras-keras. Aku merasakan tubuhku gemetar begitu mencoba untuk menguasai diriku agar tidak menangis. Tidak bisa, aku sudah terlalu lama menjadi seorang gadis yang kuat dan pada akhirnya… aku akan menangis. Aku hanya seorang wanita lemah, wanita penyakitan, wanita yang… tidak bisa membahagiakan suamiku sendiri.

          Justin mendekatkan wajahnya, ujung hidungnya menyentuh ujung hidungku. Aku bisa merasakan deruan nafasnya yang hangat dan harum menyerbu dan menyatu dengan nafasku. Bibirnya yang lembut menyentuh permukaan bibirku. Melumatnya hangat, memasukkan lidahnya disela-sela bibirku yang memucat. Aku membalas, sebelah tanganku menarik tengkuknya. Berusaha memperdalam ciumanku dengan air mata yang masih mengalir dikedua kelopak bola mata biruku. Justin mengigit bagian bibir bawahku, menyatukan jiwanya—seakan—menegaskan padaku bahwa ada dirinya yang selalu berada disisiku. Selamanya.

          Selama setengah menit, dia masih berusaha melumat bibirku lembut kemudian langsung menjauhkan wajahnya saat paru-parunya mulai kehabisan nafas. Dia mengangkat wajah, menatapku dengan nafas tersenggal. “Jangan katakan hal itu lagi, aku tidak mau mendengarmu mengatakan kata-kata seperti itu”Ujarnya lagi tegas seakan mengingatkanku untuk terakhir kali. Tidak, tidak bisa. Aku tidak akan membiarkan Justin seperti ini, menghabiskan sebagian hidupnya bersama orang sepertiku. Aku tidak pantas untuknya. Selamanya, aku tidak akan pantas. Aku tidak bisa mengurus Justin selayaknya seorang istri yang baik, aku hanya bisa merepotkannya, membuatnya susah sekaligus kerepotan.

          “Sebaiknya, kau ceraikan aku. Justin”dengan susah payah seakan ada sesuatu yang mengganjal dikerongkonganku. Sekuat tenaga, aku berusaha mengatakannya. Bola mataku memerah, berair. Aku merasakan kelopak mataku memanas dan perlahan-lahan menumpahkan setetes air dari sana. Dia sama tercekatnya, bola matanya lantas menatapku tajam. Marah dan dingin, untuk pertama kali. “Cady! Apa yang kau katakan?”Gertaknya dengan nada tajam, emosi dan menohok. Aku menundukkan wajahku dalam-dalam, berusaha untuk tidak menatap langsung bola matanya yang terbakar karena kata-kataku. Maaf Justin, aku sama sekali tidak pantas untukmu. Aku hanya seorang wanita penyakitan yang menunggu diambang kematian.

          “Kau berhak bahagia, Justin. Demi tuhan, aku merasa tertekan menjadi istrimu. Aku tidak bisa membuatmu senang, mengurusmu atau membuatmu tersenyum.. aku hanya bisa merepotkanmu, membuang waktumu untuk mengurusku”Jawabku lagi, kali ini aku benar-benar serius. Rasanya ada sesuatu yang bergejolak dalam perutku, seperti bebatuan beku yang mengocok-ngocok keras membuat sekujur dinding lambungku menjadi ngilu. Dia menggeleng tangkas, kelewat cepat seakan menegaskanku untuk diam.

          “Tidak, dengan kau ada disisiku itu sudah cukup. Aku sudah merasa sangat bahagia dan laki-laki yang paling beruntung didunia karena sudah memilikimu”ujarnya, dadaku bergetar lagi saat mendengar jawabannya. Kenapa, kenapa dia mengatakan itu padaku? Kenapa? Kenapa, dia tidak langsung menceraikanku. Tuhan, aku tidak ingin melihatnya menderita.

          “kau sudah banyak menghabiskan uang untuk pengobatanku, dan apa hasilnya? Aku masih tidak bisa sembuh..”Justin menggeleng lagi, tangannya kembali mencekal pergelangan tanganku dengan keras. Aku memejamkan mataku, tidak bisa menatap wajahnya. Tidak, tidak bisa. Ada sesuatu yang mengganjal perasaanku saat aku berusaha memandang bola matanya. Perasaan bersalah, yang semakin hari makin menjadi-jadi. Bertambah tiap detik dan membuatku menjadi wanita paling kejam didunia ini.

          “Aku masih bisa membiayai seluruh pengobatanmu! Jangan pernah mengatakan hal itu, padaku”Teriaknya kali ini dengan penuh emosi. Dia mencengkram tanganku keras-keras. Aku terdiam lagi, tubuhku bergetar begitu mendengar kata-katanya. Aku tahu, dia bisa mengobati seluruh pengobatanku. Aku sangat tahu, banyak bisnis dan uang yang dapat dia dapatkan tapi tidak dengan kebahagiaan. Aku merasa, bahwa dia seakan menderita disisiku. Semua bohong, sangat bohong jika Justin bilang dia merasa bahagia disisiku.
          “ceraikan aku, Justin”
          “Cady!”Aku gemetar lagi, pergelangan tangannya mencekalku lebih erat. Ibu jari dan telunjuk tangannya langsung beringsut kembali mengangkat daguku. Mau tak mau, memaksaku untuk menatap kedua bola mata karamelnya yang kali ini terlihat memerah dan berair. Justin menangis, karenaku. Ya tuhan. Jangan menangis, Justin. Jangan menangis. Jangan menangis, kau sama sekali tidak pantas menangisi istri sepertiku. Dia kembali menarikku kedalam pelukannya, didalam pelukan paling nyaman didunia. Pelukan yang benar-benar berhasil membuatku sejenak melupakan masalahku, melupakan perasaan tertekan yang sudah lama menderaku.

          Aku menangis, ikut terisak didalam dadanya. Merasakan aroma tubuh yang selalu membuatku nyaman.
“Justin, aku… aku…aku ingin kita cerai”
          “Shut the fuck up, aku tidak ingin kau mengatakan hal itu padaku lagi”Gertaknya tajam, membuatku tersentak dan langsung menjauhkan tubuhku dari dalam dekapannya. Aku terisak lagi, merasakan sekujur tubuhku dalam beberapa detik berubah menjadi batu yang beku. Mengelu, lumpuh semu seakan seluruh rangkaku ingin terlepas dari sendi-sendinya. “Justin! jangan bohongi perasaanmu, aku tahu kau tersiksa disebelahku. Kau tersiksa, didekatku. Aku tahu… kau mengeluh menjadi seorang suami dari istri penyakitan sepertiku”Dia menggeleng cepat. Kembali mengelak, berusaha meyakinkanku untuk percaya padanya. Ya, aku tahu dia mencintaiku. Aku tahu, dan aku juga mencintainya. Sangat…

          “Aku ingin kau menikah dengan Ariana”ujarku bersusah payah berusaha mengendalikan tangisku. Dia terkejut, bola matanya langsung berpijar menatapku nanar. Dengan kuat, aku mengigit bibirku hingga menimbulkan bercak putih memucat disana. Jangan menangis, Cady. Jangan menangis. Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Dia berhak bahagia, dan kurasa Ariana Adolfo adalah gadis yang paling cocok untuknya. Mereka, dulu sempat saling mencintai—ya—mereka pernah berpacaran dulu lalu putus karena Ariana berselingkuh dengan Sam, sahabat Justin. Dan Justin akhirnya berpaling padaku hingga akhirnya memutuskan untuk menikah, tentunya bersamaku. Tapi hingga sekarang aku masih yakin, ada cinta yang tersembunyi, masih tetap tersimpan didalam hati Justin untuk Ariana.

          “Kau gila, Cady! Kau gila!”Emosinya lagi menyembur, menatapku dengan amarah menggelegak. Aku menggeleng cepat. “dulu, kalian seharusnya berjodoh. Seharusnya kau sudah menikah dengan Ariana, tapi karena… karena aku. Aku menjadi penghalang kalian untuk tidak bersatu”lanjutku terbata-bata. Air mataku sudah meluap, wajahku memanas dan memerah. Aku bisa merasakan kelopak mataku membengkak karena terlalu banyak menangis.

          “Tidak, aku tidak akan mengikuti permintaanmu”tegasnya lebih keras lagi. Begitu jelas, membuatku tersentak. Aku mengerang, merasakan tiba-tiba sekujur bagian kepalaku ngilu, ada sesuatu yang menusuk-nusuk bagian selaput otakku. Aku berteriak kesakitan lantas jatuh tersungkur dari atas ranjang. Aku meirngkuk, sebelah tanganku menyentuh bagian ubun-ubunku merasa seakan-akan ada satu ton batu yang memukul keras kepalaku. Justin terkejut, dia beranjak bangkit dari atas kursi dan menepuk pelan pipiku. Aku mengigit bibirku keras-keras, berusaha kuat, untuk bangkit.

          “Justin…. sakit”Aku kembali mengerang, Justin langsung menggeleng lantas mengambil ponselnya didalam saku untuk menelpon dokter. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu, karena selanjutnya yang berkelebat dibenakku hanyalah wajah Jusin, senyumnya, wajahnya, berubah menjadi ilusi berputar-putar lantas hanyut menjadi gelap. Tak berujung, tanpa bekas sedikitpun.
****

          “Cady, hentikan ucapanmu!”Justin menggertak. Pagi ini, keputusanku sudah bulat. Setelah bangun dari pingsanku semalam. Aku langsung menemui Justin dan kembali membicarakan keinginanku kemarin siang. Aku ingin, dia menceraikanku atau jika dia memang tidak ingin menceraikanku, berarti langkah kedua yaitu dia harus menikahi Ariana. ya, aku rela untuk diduakan olehnya. Demi kebahagiaan Justin, demi orang yang aku cintai. Justin membasahi bibirnya kemudian menatapku tegas.

          “Keputusanmu terlalu beresiko, aku tidak ingin menceraikanmu”
          “dan, kalau begitu kau harus menikahi Ariana jika kau tidak ingin menceraikanku”
          “Cady! Aku tidak bisa, aku tidak bisa melakukan kedua permintaanku”teriaknya emosi, aku terdiam kemudian berusaha mengambil nafas dalam-dalam. Berusaha untuk melegakan sesak yang sejak kemarin mengganjal diparu-paruku. “Justin, aku mohon. Kabulkan permintaan terakhirku, sebelum aku benar-benar tidak ada didunia ini lagi. Jangan buat aku meninggal dengan kondisi menyesal seumur hidup karena tidak bisa membuatmu bahagia”Justin menggeleng cepat, menangkas semua argumentasiku. Dia berinterupsi, menatapku tajam seakan memberikan teguran entah untuk yang keberapa kali. Mungin, kesekian kali atau ratusan kali.

          “aku mohon, Justin. Aku mohon”aku berusaha menatap kedua bola matanya yang menatapku nanar, berusaha memohon agar dia mau memenuhi permintaanku. Aku tahu, ini memang berat. Aku memang hanya ingin Justin menjadi milikku, tapi ada sebelah sisi dari hatiku memberontak seakan mengatakan bahwa aku adalah wanita paling kejam didunia karena mau mempertahankan pria sempurna seperti Justin untuk hidup bersama orang sepertiku. Tidak ada yang bisa kulakukan, aku tidak bisa membuatnya tersenyum bahagia. Aku hanya bisa berjalan sakit-sakitan, rentan dan rapuh. Aku benar-benar gadis lemah, kurasa.

          “aku tidak bisa”
          “Kau masih mencintai Ariana, jangan bohongi perasaanmu. Dia cinta pertamamu, iyakan?”
          “Dia memang cinta pertamaku, tapi bukan berarti dia adalah cinta terakhirku. Kau adalah cinta terakhirku, Cady”ujarnya sembari mengenggam kedua tanganku, merengkuhnya dengan hangat dan meletakkan kedua jemariku didepan dadanya. aku terdiam, terhenyak akan kata-katanya yang kembali lagi membuatku menjadi wanita paling merana didunia ini. “Terakhir kalinya, aku memohon, aku meminta agar kau menepati permintaanku. Justin, aku ingin membuatmu bahagia. Itu saja”dia menggeleng cepat.

          “Justin! kalau begitu ceraikan aku”
          “Tidak bisa”
          “Kau itu laki-laki! Kau harus membuat sebuah keputusan, kau harus tegas Justin”dan kali ini dia yang terdiam, bibirnya terbungkam seribu bahasa tidak dapat menjawab kata-kataku. Bibirnya langsung terkatup sangat rapat dan kembali menatapku dengan tatapan agar aku membatalkan semua permintaan ini. “Aku mohon”ujarku lagi. Justin seakan terenyuh, untuk beberapa kali matanya terlihat memerah seakan memohon padaku untuk membatalkan semuanya. tidak, tidak Justin. Aku ingin membuatmu bahagia, tidak terpaku pada diriku. Hidup bersama wanita sepertiku. Kau berhak mendapatkan yang sempurna. Seperti Ariana Adolfo.

          “Kau keras kepala!”
          “Aku tidak ingin membuatmu menderita”jeritku lagi, dia menggeleng cepat kembali menegaskan padaku untuk berhenti berbicara. Berhenti mengatakan hal-hal seperti itu kepadanya. Aku meneguk ludahku, terdiam tidak sanggup lagi membuka bibirku. Aku…aku seperti… aku bingung, apa yang seharusnya aku lakukan. Aku ingin Justin berhenti mengurusku, hidupnya sudah terlalu sayang untuk dihabiskan hanya untuk mengurusku yang tidak pernah sembuh atau kuat seperti wanita selayaknya. Selamanya, aku akan terus seperti ini. Aku tahu, lama kemudian meningitis ini akan menyebar, merapuhkan kekuatanku.

          “Aku tidak pernah merasa menderita didekatmu”

          “Kau bohong, Justin. Kau bohong. Kau jauh lebih cocok hidup bersama Ariana. Kau masih mencintainya dan aku yakin, Ariana masih sangat mencintaimu. Kalian itu berjodoh, dan semua itu hanya karena masalah waktu yang menyebabkan kalian terpisah”Justin terdiam. Tangannya mengepal membentuk tinju sempurna, urat-urat birunya menonjol dari balik kulit pergelangan tangannya seakan sedang berusaha menguasai sesuatu yang menggelegak didalam dirinya.

          “baiklah, kalau memang itu maumu. Aku tidak akan pernah bisa menceraikanmu dan aku akan mengikuti permintaanmu yang kedua, menikahi Ariana”Deg. Ada sesuatu yang tajam menikam tepat bagian jantungku, melumatnya membuatnya tergores dan ngilu. Ya tuhan, ya memang itu yang sangat aku inginkan. Itu yang aku mau. Aku berusaha untuk tersenyum, seakan terlihat senang dan bahagia akan keputusannya. Aku benar-benar seperti seseorang yang bodoh, wanita paling idiot sekarang. Tertawa dibalik kesedihan, tersenyum dibalik tangisan dan berusaha untuk terlihat tegar walaupun aku begitu rapuh… benar-benar rapuh seperti sayap kupu-kupu yang mudah untuk dihancurkan.

          “Kau pantas bahagia, aku berharap kau bisa menemukan kebahagiaanmu bersama Ariana”
          “Tidak, aku sudah bahagia bersamamu”aku tertawa lagi, terbahak kecil lantas menggeleng cepat. Dia bohong, aku tahu. “Kau sudah terlalu lama lelah hidup bersamaku”Ujarku lagi, berusaha menangkis ribuan alasan milik Justin. Bola mata karamelnya kembali menatapku dalam-dalam kemudian mengambil nafas panjang. “Jangan pernah kau menyesal atas keputusanmu”ujarnya menohok tatapanku, tatapan dingin dan ketus. Aku membasahi bibirku yang terasa kering. Aku akan berusaha Justin, aku akan berusaha semampuku walaupun bagaimanapun aku tahu, semua tidak mudah.

          “Aku tidak akan menyesal, semua sudah aku pikirkan dengan matang”dustaku lagi, tersenyum kecil. Terlihat paling munafik, berpura-pura memakai topengku. Justin mengangguk lagi lantas beranjak bangkit dari posisinya. “Kalau memang itu maumu, akan aku turuti”lanjutnya kemudian berbalik, memutar tubuhnya untuk menjauh dariku. Aku terdiam, bola mataku memerah… memanas dan ngilu lantas aku menangis. Bodoh, gadis bodoh. Aku benar-benar bodoh.


****
          Mereka sempurna. Ariana tampak cantik, cantik sekali. Sempurna. Dia tampak anggun berdiri dialtar katedral bersama pangeranku disebelahnya, Justin. Aku jadi teringat sata dimana aku menggunakan gaun pengantin dengan Justin berdiri disisiku. Aku menarik senyum, memutar bola mataku kearah Ariana dan Justin. Berusaha tersenyum, berusaha kuat walaupun dalam hati aku menangis. Aku ingin berteriak, sekeras-kerasnya. Kenapa didunia ini rasanya tidak adil? Aku ingin menjadi wanita seutuhnya. Maksudku, wanita yang sehat… wanita yang bisa menjadi istri paling sempurna untuk Justin. Aku mengigit bibirku begitu melihat Justin memasukkan cincin pernikahan kejari manis Ariana, gadis itu tersenyum merasa benar-benar bahagia lantas kembali bertatapan. Tatapan itu…. Tatapan Justin, itu adalah tatapan yang paling nyaman dan lembut didunia ini.

          Justin mendekatkan wajahnya, sebelah jemarinya merengkuh wajah cantik Ariana kemudian menyentuh bibir seksi gadis itu yang dipoles lipstick pink natural. Aku terhenyak, lagi merasakan sekujur tubuhku seakan mati rasa. Ya tuhan. Ada apa ini? kenapa tiba-tiba aku merasa sakit, merasa sesak dan sulit bernafas. Justin mencium Ariana didepanku, aku tahu mereka sudah resmi menjadi suami-istri sekarang atas permintaanku. Tapi, kenapa rasanya…. Tidak, lupakan. Mereka tampak sempurna. Ingat Cady, Justin pantas mendapatkan yang jauh lebih baik dariku.

          Aku menunduk, merasa setetes air mata mulai menetes dari kelopak mataku. Mengalir, setitik demi setitik melunturkan bedak dan eyeliner yang melapisi wajahku. Jeez. Jangan menangis, jangan menangis. Tolong jangan menangis, sekarang bukan waktunya untuk menyesali semuanya. Justin-pantas-bahagia. Mereka benar-benar sempurna, serasi dan sangat cocok. Ariana sangat cantik, Justin sangat tampan. Lihat, mereka cocok kan? Ya, kurasa aku sangat tidak pantas untuk Justin. Aku, istri sakit-sakitan yang tidak pantas untuk mendampingi pria sesempurna Justin.

          Dalam beberapa menit kedepan, para tamu sudah keluar dari dalam katedral. Pintu sudah terbuka dengan lebar. Aku terkejut dan kembali mengalihkan pandanganku, mendongkak. Menatap kearah sekeliling. Bola mataku memutar lagi, menatap kearah Justin. dia masih berada disebelah Ariana, pandanganya terarah padaku. Memandangku dengan tatapan nyaman dan hangat. Aku mengigit bibirku lagi, merasa tidak kuat dengan semuanya. Sepertinya, dia mengerti bagaimana perasaanku. Justin terlihat seakan ingin menegaskan padaku untuk kuat, untuk tetap tegar karena dia akan selalu bersamaku. Aku tahu, Justin memang akan selalu disisiku.

          Dengan begitu susah payah, aku beranjak bangkit dari kursi kemudian melangkah mendekat kearahnya dan Ariana. Suara stiletto milikku bergema, Ariana memalingkan wajahnya kemudian menarik senyum begitu melihatku. “selamat, kalian sangat sempurna”ujarku tersenyum. Lagi-lagi berdusta. Kenapa sekarang aku merasa bahwa aku adalah manusia paling berdosa karena terlalu banyak berbohong dihadapan semua orang. Ariana memelukku, tubuhnya yang tinggi dan seksi mendekat. Menarikku kedalam pelukannya, memeluk tubuhku yang kurus. Aku benar-benar merasa minder sekarang, tidak percaya diri lagi. Dulu aku secantik Ariana, tidak seperti sekarang. Tubuhku sudah kecil dan kurus dengan wajah yang memucat.

          Justin melangkah, maju untuk berdiri disebelahku. Ariana melepaskan pelukannya, bola mataku memutar beralih kearah Justin. Dia tampan, sangat tampan. Bola mata karamelnya menatapku dengan hangat kemudian beringsut memelukku. Aku tenggelam didalam pelukannya. Tidak, jangan menangis Cady. Kau harus terlihat kuat sekarang, aku berusaha menegaskan pada diriku sendiri. Justin memelukku erat, hangat kemudian menghirup aroma tengkukku. Sesuatu yang sangat sering dia lakukan.

          “Aku…mencintaimu”Deg. Dadaku berpacu lagi. Kenapa dia selalu seperti ini dihadapanku. Tidak Justin, kau harus melupakanku. Aku tidak cocok untukmu. Batinku berinterupsi, aku langsung melepaskan pelukannya secara paksa kemudian tersenyum kikuk. Canggung sekali seakan-akan Justin adalah orang yang sangat asing bagiku. “Well, sepertinya kalian sangat lelah. Bagaimana kalau sekarang kalian istirahat dirumah?”ujarku berusaha tersenyum dihadapan mereka, lagi berpura-pura untuk keberapa kalinya. Menutupi tangis dan kesedihan yang menggebu-gebu didadaku. Ariana mengangguk, dia mengalungkan lengannya dilengan kekar Justin. Bersandar pada bahu suamiku. Maksudku, bahu suaminya juga mulai detik ini. Ya, sekarang aku harus lebih terbiasa untuk membiasakan semuanya. Justin bukan lagi milikku seutuhnya. Dia milik Ariana, relakan Justin. Aku tahu semuanya tidak mudah, berbagi kasih dan cinta Justin kepada wanita lain tapi itu yang paling terbaik. Waktuku tidak lama lagi, aku tidak bisa membiarkan Justin berlarut-larut membuang waktunya untukku.

          “Ya, aku sudah sangat lelah.. honey”Ariana mengecup pipi Justin lagi. Aku terhenyak, berpura-pura terbiasa walaupun dalam hati aku berteriak. Kenapa? Kenapa dia mencium…suamiku. Justin terlihat mengangguk kemudian membawa Ariana untuk keluar dari dalam katedral, aku terdiam lagi.. dan perlahan-lahan, dengan langkah berat sedikit tersaruk mengikuti langkah mereka. Bola mataku tepat mengarah kepunggung Justin, menatap kearah punggungnya yang kekar dan melirik kearah Ariana yang bersandar dibahu dengan mengalungkan lengan dilengan Justin. Rerumputan hijau yang bergoyang tertiup hembusan angin menyembul diluar katedral. Goresan langit biru dengan spektrum sinar kekuningan terlihat dicakrawala. Indah, seakan menyambut Justin dan Ariana yang baru saja mengikat janji sehidup semati.

          Aku menarik nafas, lantas menegaskan pada diriku lagi. Ini risiko yang harus aku ambil. Justin memeluk bahu mungil Ariana kemudian mendorong lembut gadis itu masuk kedalam mercedez benz hitam mengkilat yang ada didepan katedral. Justin melirik kearahku lantas mengernyit, membentuk kerutan kecil didahinya. “kau pulang bersama siapa?”tanyanya. Aku tersenyum kecil.

          “jangan khawatirkan aku, aku akan pulang dengan Dhane”ujarku tersenyum. Dhane, dia adalah salah satu sahabatku. Justin tersenyum kemudian mengangguk dan langsung menutup pintu mobilnya. Dalam beberapa detik, mercedez benz itu langsung melaju cepat membelah jalan raya. Meninggalkan katedral, menuju kerumah yang aku tempati dengan Justin. Aku terdiam, berdiri disini seakan membeku sekarang. Kenapa tiba-tiba sekarang aku merasa sesak? Aku ingin menangis, berteriak seakan tidak rela sekaligus mempercayai semuanya. Aku tidak yakin bahwa sekarang Justin bukan lagi milikku. Ya, aku akan membiarkan Justin hidup sempurna dengan Ariana. Justin pantas bahagia bersama gadis yang memang pantas untuknya.


****

          Suara ketokan pintu terdengar, berulang-ulang. Aku langsung beranjak bangkit dari atas ranjangku dan melangkah menuju keruang tengah untuk membuka pintu tengah rumah. Aku tersenyum kecil, mungkin Justin yang baru saja pulang dari kantornya. Ya, aku sangat hafal jadwal dia pulang kerumah. Sekarang adalah waktunya untuk sampai dirumah. Baru saja aku ingin menyentuh gagang pintu, tiba-tiba Ariana muncul dihadapanku. Dia menatapku sekilas. “Aku saja yang membuka pintunya”ujarnya lagi. aku diam, menyerah kemudian mengangguk dan mengalah membiarkan Ariana menyambut Justin sekarang. Dalam beberapa detik, pintu sudah terbuka lebar bersamaan dengan angin malam yang berhembus menelusup kedalam pintu. Dia tersenyum, Ariana langsung menghambur memeluk Justin. Melepaskan dirinya didalam dekapan suamiku. Aku terdiam, terkejut namun sama sekali tidak bisa melakukan gerakan apapun. Aku tidak bisa mencegah mereka. Dia berhak, dia mempunyai hak. Ariana mempunyai hak yang sama denganku.Dia istri Justin, sama sepertiku.

          “Aku lelah”desis Justin tersenyum, menatap bola mata gadis bermata biru didepannya. Aku tahu, masih ada cinta yang tersimpan bergelut didalam tatapan itu. Aku tahu, sangat tahu. Ariana Adolfo adalah cinta pertamanya. Aku langsung menunduk dan menegang disini. Justin memutar wajahnya, ujung sudut matanya sempat menilik kearahku.

          “Cady, kau baik-baik saja?”tanyanya tegas. Aku kembali mengangkat wajahku cepat-cepat dan mengangguk. Sedikit tergeragap. Justin tersenyum kecil. Senyum yang selalu menemani hidupku. Tuhan, kenapa semuanya berjalan seperti ini? kenapa sekarang justru aku menyesal sudah membuat keputusan pada Justin hidup bersama Ariana dan kenapa sekarang aku benar-benar merasa idiot, bodoh sekali.

          “makan malam dulu, Justin”ujar Ariana menarik lengan Justin dengan kemeja yang sudah digulung hingga kesiku dan jas bertengger dibahunya. Wanita berambut tembaga itu mengambil tas kerja dan kemeja Justin, melepaskan dasi yang melingkar dilehernya dan melangkah disisi Justin untuk masuk kedalam rumah. Aku menghela nafas, seharusnya aku yang berada disisi Justin sekarang. Menyambutnya, menciumnya selayaknya seorang istri tapi sekarang aku tahu, sudah ada Ariana yang jauh lebih pantas menggantikan posisiku.

          “Aku mandi dulu”ujar Justin melirik Ariana. Wanita itu mengangguk sekilas, Justin kembali mengecup keningnya dan melangkah menjauh menuju kekamarnya. Dan sekarang, kenapa tiba-tiba dia tidak menciumku? Kenapa Justin tidak memelukku? Kenapa Justin hanya sekedar melirikku, kenapa? Aku diam, meneguk ludahku sendiri. Merasakan perlahan-lahan ada sesuatu yang terkikis didadaku. Sesak sekali. “sebaiknya, kau istirahat dikamar. Keberadaanmu disini benar-benar mengangguku”Ujar Ariana tiba-tiba menyadarkan lamunanku. Aku tesentak kemudian memutar wajahku melirik kearahnya dengan tatapan heran, tidak mengerti.
          “maksudmu?”

          “Ya, aku tahu sebentar lagi kau akan mati dan … aku dan Justin akan hidup tenang disini tanpa ada penganggu sepertimu”ujarnya dengan tatapan mendelik tajam, sinis dan meremehkan. Aku terhenyak, mengernyitkan dahiku sejenak. Entah kenapa, rasanya seperti ada mesiu peluru yang menembus jantungku. Membuat lubang menganga disana dan sanggup membuat jantungku berhenti berdetak. Apa yang baru saja dia katakan, barusan? Apa maksudnya.

          “jangan bilang bahwa aku mau menikah dengan Justin itu semua karena permintaanmu? Oh tentu saja tidak. Maksudku, aku mau menikahi Justin karena aku tahu sebentar lagi kau akan mati dan kemudian aku bisa hidup bahagia bersama suamiku”lanjutnya menarik senyum tipis namun dengan seringai licik amat kentara. Aku mengigit bibirku, merasakan ada rayap yang berjalan disekita tubuhku. “Jaga bicaramu!”gertakku menggeleng cepat. Wanita itu tersenyum kecil.

          “kenapa? Tidak terima saat aku katakan seperti ini, oh ayolah.. kau harus menerima takdirmu dan sekaligus aku ingin mengucapkan terima kasih karena kau, Justin sekarang sudah menjadi milikku”Ujarnya terkekeh lagi. Kelopak mataku memerah, merasa diriku menciut sekarang. Apa yang sedang terjadi. Kenapa tiba-tiba Ariana menjadi seperti ini. tolong katakan sesuatu padaku, aku mohon. Ada apa sebenarnya.

          “aku peringatkan kepadamu, mulai sekarang jangan pernah mencari perhatian pada Justin. Ingat, sebentar lagi kau akan mati.. sayang”lanjutnya membuatku makin mengigit bibirku lebih keras lagi. Air mataku menetes tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan. Aku tidak tahu, tidak mengerti apa yang semestinya aku perbuat sekarang. Demi tuhan, kenapa semuanya menjadi seperti ini. Kenapa tiba-tiba Ariana menjadi benci padaku?
          “kau pikir aku gadis bodoh? Yang mau membagi cintaku kepada wanita penyakitan sepertimu. No, big no. Mulai sekarang, Justin adalah milikku. Seutuhnya”Deg. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyeruak dalam dadaku. Sakit sekali, rasanya. Seluruh tubuhku menegang. Semua yang dia memang katakan benar, aku akan mati dan Justin jauh lebih pantas hidup bersamanya. Aku mengerti.

          “Cukup—Cukup—Ariana!”gertakku bergetar, tubuhku bergejolak ada sesuatu yang bergejolak didalam dadaku. Ariana menarik alisnya lantas kembali menatapku dengan ekspresi geli nyaris tertawa. “Kenapa? Kau tidak mau menerima takdirmu? Ya, kau adalah seorang istri penyakitan yang hanya bisa menjadi parasit dalam hidup Justin. Oh cmon. Itu jauh lebih baik jika kau sadar diri bahwa wanita sepertimu sangat tidak cocok menemani kehidupan Justin”ujarnya tertawa, menertawakan diriku. Aku pantas ditertawakan. Aku sangat pantas. Aku kembali menatapnya dengan wajah memerah, tanganku terasa panas. Aku langsung maju, maju beberapa langkah kemudian menghentak menampar wajahnya keras-keras. Ariana langsung jatuh tersungkur. Wanita itu mengerang, dengan tubuh jatuh diatas lantai. Wajahnya berbenturan dengan bebatuan marmer, sebelah tangannya beringsut mengusap pipi kirinya yang tiba-tiba memerah karena tamparanku. Aku mengigit bibir kuat-kuat, berusaha tidak menangis.

          “Jeez. Cady! Cady apa yang kau lakukan?”Justin terhentak, pria itu baru saja keluar dari dalam kamarnya dengan kaos dan rambut yang basah selesai mandi. Dia menatapku tajam, bola matanya menusuk tepat menohok kearahku. Aku terkejut, kaget. Justin berlari, menarik Ariana. Memastikan bahwa wanita itu baik-baik saja.

          “aku—aku—“aku tergeragap, tidak tahu apa yang harus aku katakan. Pria bermata karamel itu kembali mengalihkan bola matanya, menyerbu mataku dengan tatapan tajam.. dingin, ketus sekali seperti batu.
“Kenapa? Kenapa kau menamparnya? Apa yang sudah dia lakukan?”tanya Justin kembali menohok seakan menjebakku disatu titik, meluluhlantahkan pertahanan kokoh yang aku miliki. Aku terdiam, tidak sanggup membuka suara. Apa yang harus aku katakan sekarang?
          “Dia, dia marah padaku.. karena.. karena tadi aku ingin menyiapkan sarapan makan malam untukmu”Ariana membuka suara dengan nada intonasi dibuat sedikit kecil, memecah seakan terlihat menangis. Aku ternganga, menatapnya kaget. Apa yang wanita itu katakan, barusan? “Dia marah karena kau mencium keningku, dia marah karena kau memelukku”ujarnya lagi. Aku meneguk ludahku, dalam beberapa detik aku berubah terpaku. Justin menggeletukkan giginya, bola matanya menatapku garang. Tidak pernah aku melihatnya sedemikian marah padaku dan kali ini untuk pertama kalinya.

          Justin bangkit, dia berdiri kemudian melangkah mendekatiku. Bola matanya masih tetap menohok pandanganku dalam-dalam lantas mencekal pergelangan tanganku keras. “Follow me, NOW!”Teriaknya tajam, menimbulkan gema dan gaun yang memantul keseluruh ruangan. Aku meneguk ludahku lagi. Tubuhku gemetaran, terkejut melihatnya sedemikan mengerikan. Apa yang sedang terjadi? Demi tuhan, jangan tatap aku dengan pandangan seperti itu Justin. Aku mohon. Justin langsung menarik tubuhku untuk mengikuti langkahnya. Dia mendorongku kedalam kamar, kamar baruku kemudian menghentakkan tubuh kurusku keatas kasur dan mengunci pintu dengan tergesa. Pandangannya menyerbuku, lagi.

          “kenapa? Kenapa kau lakukan ini, kenapa?”teriaknya tajam. Aku
gemetar, ketakutan. “Kenapa? Answer my ask, Cady!”gertaknya lagi membuat bibirku tidak sanggup terbuka. Aku seakan kehilangan kata-kata melihatnya kehilangan kendali seperti tadi.
          “aku—aku…”

          “Jawab, nona Cady!”Aku gemetar, wajahku memecat. Bibirku langsung berubah beku tidak tahu apa yang semestinya aku lakukan sekarang. Dia tidak lagi percaya, padaku. Justin tidak mempercayaiku lagi. “Kau yang menyuruhku menikahi Ariana dan sekarang, kenapa kau lakukan itu?”Lanjutnya lagi kembali menohokku. Aku tidak tahu, aku tidak tahu, aku tidak tahu. Aku bingung menjawabnya.

          “Aku—“
          “dia mempunyai hak yang sama sepertimu, dia sekarang istriku. Kau tahu, semua itu kau yang menyuruhku”aku tahu, aku mengerti. Aku yang menyuruhmu Justin, aku yang bersalah dengan semua ini. Aku yang bodoh, aku gadis idiot. Aku yang seharusnya disalahkan, ya..semua itu karenaku.

          “Aku kecewa, padamu”Deg. Aku tersentak lagi saat Justin mengucapkan kata-kata itu, pertama kalinya. Dia kecewa padaku, dia membenciku. Aku terdiam lagi, tidak tahu apa yang semestinya aku lakukan “Aku sudah bilang pertama kali padamu, semuanya terlalu berisiko tapi kau selalu mendesakku. Dan kau tahu, semua ini risikonya”ujarnya lagi kembali menatapku tajam. Aku menunduk, tidak mempunyai keberanian menatap kedua bola matanya. Aku wanita pengecut.

          “Stop Justin! stop! Aku tahu risikonya, aku tahu.. hanya saja.. aku—“
          “apa? Kau ingin mengatakan apa?”aku terdiam lagi, aku bingung apa yang semestinya aku katakan. Haruskan aku mengatakan padanya bahwa semua itu tidak benar, haruskan aku mengatakan bahwa aku mencintainya. Aku cemburu, aku sakit, aku terluka melihatnya bersama Ariana. Tentu saja tidak. Kali ini, aku harus berdusta lagi.

          “Aku kecewa padamu! Aku kecewa!”lanjutnya bergema. Aku tersentak, menundukkan wajahku dalam-dalam, menyembunyikan bola mataku. Aku bisa merasakan tatapan nanar Justin, tangannya yang terkepal dan bagaimana emosinya sekarang semua itu karenaku. Aku minta maaf, Justin. Aku minta maaf. Pria itu menggeleng, mengerang emosi kemudian membalikkan tubuhnya untuk keluar dari dalam kamarku. Suara kunci yang diputar terdengar, Justin langsung membuka pintunya emosi nyaris membantingnya diiringi suara gebrakan keras mengejutkan. Aku mengigit bibirku lagi. Aku minta maaf Justin, aku sudah membuatmu kecewa.



****

          Diam, terpaku, hening, sunyi. Aku benar-benar merasa kehilangan sekarang. Justin-sudah-bahagia. Aku berharap, Justin sudah benar-benar bisa melupakanku. Aku tahu, aku tidak bisa menemani kehidupannya dan dia layak mendapatkan yang terbaik. Dia layak mendapatkan Ariana untuk menemani hari-harinya. Wanita itu jauh lebih baik, dariku. Aku membuka pintu kamarku lantas terkejut, bibirku bungkam lagi begitu melihat Justin sedang mencium bibir Ariana tepat diruang tengah rumah. Bibir itu… dia dulu sering menciumku seperti itu. Ariana tersenyum kecil, mereka sangat bahagia.

          Aku bisa melihat Justin jauh lebih baik bersama Ariana. Tangan Justin menelusur, mengusap tengkuk dan punggung Ariana yang terbuka. Aku mengigit bibirku lagi, sudah lama sekali Justin tidak pernah menyentuhku. Aku merindukannya, sangat. Air mataku menetes lagi, mengalir hingga keujung daguku begitu melihat mereka sedang bercumbu disana. “Cady, apa yang sedang kau lakukan disitu!?”Aku terkejut, punggungku tersentak begitu mendengar suara Ariana. Dia memergoki, melihatku sekarang. Ya tuhan, astaga apa yang sedang aku lakukan. Bola mataku terbelalak. Wanita itu langsung menjauhkan tubuhnya dari Justin dan menutupi dadanya dengan tangan. Justin yang masih berpakaian lengkap menatapku tajam.

          “tidak adakah yang jauh lebih baik kau lakukan selain mengintip seperti itu?”gertak Justin tak suka, merasa terganggu denganku. Aku menunduk, malu luar biasa. Apa yang sedang aku lakukan sekarang. Aku menggeleng kecil. “aku, aku hanya ingin mengambil air minum didapur..ng.. maaf sudah menganggu aktivitas kalian”Ujarku lagi kemudian langsung memutar bola mataku, dengan gerakan gemetar dan sedikit gusar aku kembali menutup pintu kamar. Menguncinya cepat. Aku menutup bibirku dengan telapak tangan, berusaha untuk tidak menangis. Kenapa sakit sekali, kenapa rasanya sakit sekali. Kenapa aku tidak rela melihat Justin menyentuh wanita lain, aku tahu Ariana adalah istrinya sekarang dan itu adalah kewajibannya.

          Aku menenggelamkan wajahku dibalik bantal, berusaha agar tangisku mereda. Tidak, tidak bisa. Kenapa rasanya air mata ini sulit sekali berhenti. Kenapa rasanya aku selalu saja menangis, kenapa aku selalu merasa sesak tiap kali melihat Justin bersama Ariana. Mereka sudah sangat bahagia, Justin sepertinya menyayangi Ariana. Seperti yang pertama kali kukatakan, aku yakin masih ada cinta yang tersembunyi untuk Ariana, cinta pertamanya. Siapapun pasti akan setuju bahwa pesona cinta pertama tidak bisa dielakkan. Semenjak sebulan ini, Justin sudah tidak lagi memperdulikanku. Dia sudah jarang menanyakan diriku, tidak pernah lagi mengingatkanku untuk meminum obat, dia tidak pernah lagi mengantarku check-up. Dia sudah terlalu sibuk untuk itu. Kurasa, itu semua memang yang aku inginkan.

          Aku ingin Justin melupakanku, dia harus menemukan kebahagiaannya tidak terpaku untuk menghabiskan hidupnya untuk mengurusku yang berada diambang kematian. Aku tahu, cepat atau lambat nanti aku akan mati. Justin tidak pernah lagi mencium keningku, tidak pernah mencium bibirku, tidak pernah lagi memelukku atau mengusap rambut panjangku. Dia sudah jarang menatap mataku, semua sudah sangat berubah. Ya, semua berbeda tidak lagi seperti dulu. Aku terisak lagi, aku merasa begitu merindukan semuanya. Aku bodoh, wanita bodoh, sangat bodoh. Aku memang sangat merindukan Justin. Merindukan semuanya. Aku rindu tidur didalam pelukan Justin, aku rindu disuap olehnya, aku rindu diperdulikan oleh Justin, aku rindu saat pria itu mengucapkan kata-kata manis ditelingaku.

          Tapi aku tahu, Justin sudah menemukan kebahagiaannya. Dia melupakanku dan pantas bahagia bersama Ariana. Aku kembali memutar bola mataku, menatap detik-detik jam tergantung didinding tembok. Dan sekarang apa gunaku tinggal disini? Seperti yang ariana katakan, aku seperti parasit yang menempel dikehidupan Justin. Aku selalu membuatnya kesulitan, apa gunaku disini? Bukankah jauh lebih baik membiarkan mereka hidup bahagia tanpa memperdulikanku lagi. Aku bisa melalui sisa-sisa hidupku dengan tanganku sendiri.

          Aku langsung beranjak bangkit, mungkin jauh lebih baik jika aku pergi dari rumah ini. Aku harus pergi. Tidak ada lagi yang aku harapkan, Justin sudah bahagia dengan Ariana. Dan apa yang aku lakukan disini? Hanya menjadi seorang wanita penyakitan yang menunggu detik-detik kematian. Aku harus pergi, dari sini. Dengan gusar, aku langsung membuka pintu lemari dan mengambil beberapa baju didalam sana. Baju dari Justin, hadiah Justin saat hari ulang tahunku. Aku mengambil beberapa pakaian didalamnya dan memasukkan kedalam tas jinjing. Air mataku mengalir lagi, kemudian bola mataku berdesik menilik sebuah foto Justin dan aku disebuah figura. Mungkin, ini adakan jadi sebuah kenang-kenangan yang aku simpan. Justin, suamiku. Aku menarik nafas berusaha untuk tidak menangis tapi tetap tidak bisa. Tiap kali aku berusaha untuk menguasai diriku, air mata ini semakin deras, lebih deras dan jauh lebih deras lagi menetes membuat permukaan wajahku melengket.

          Sekuat tenaga, aku mengigit bibir lantas menutup resleting tas jinjingku, menutup pintu lemari dengan gerakan sangat hati-hati. Aku kembali menulis sebuah surat untuk Justin, Justin Bieber. Justin, suamiku, seseorang yang sangat aku cintai. Selamanya. Mungkin, ini adalah yang terbaik. Wanita sepertiku, lebih baik menjauh dari kehidupannya. Aku tidak pantas disini. Jemariku kembali membuka laci meja berwarna cream magenta, mengambil sepucuk kertas dan pena didlamnya. Sebelah tanganku dengan gerakan gemetar mulai menulis kata-demi kata, merangkai kalimat, berusaha menuangkan perasaanku. Pada Justin. selama 3 menit kedepan, selesai menulis surat aku kembali menyelipkan kertas itu didalam amplop dan meletakkannya diatas meja. Aku mendesah, melirik kearah jam. Sudah malam, aku tahu. Aku menggeleng cepat, berusaha mengusir sekelebat bayangan dibenakku lantas perlahan-lahan melangkah menuju kepintu. Sudah dua jam aku menunggu didalam kamar. Apakah Justin masih bersama Ariana? kurasa mereka sudah tertidur. Aku membuka handle pintu perlahan-lahan, dengan gerakan sangat hati-hati dan mengintip dari sedikit celah pintu yang terbuka.

          Tidak ada Justin atau Ariana disana, mereka sudah tertidur didalam kamar kurasa. Kamar yang dulu aku tempati bersama Justin, kamar yang menyimpan banyak kenangan dibenakku. Aku sangat merindukan Justin. Air mataku mengalir lagi, kemudian keluar dari dalam pintu. Aku harus meninggalkan rumah ini, berat rasanya. Sulit sekali, tidak bisa meninggalkan tempat ini. tempat dimana dulu aku tinggal bersama Justin, tapi aku harus melakukan ini. Aku menarik nafas panjang berusaha menguatkan perasaanku sendiri. Aku sudah yakin, sekarang. Justin, selamanya aku akan mencintaimu… selamanya, kau akan selalu menjadi suami terbaikku, kau tahu itu.



****

Author’s View


          Justin menangis, memeluk pusara Cady erat-erat. Tangisnya meledak, wajahnya memerah dengan kelopak mata memanas. Semua sudah sangat terlambat. Cady sudah meninggal. Meningitisnya sudah tidak menyebar, merusak seluruh bagian otaknya. Semua sudah terlambat, terlambat dan terlambat. Justin meremas bagian tanah pusara erat-erat didalam jemarinya. Cady sudah meninggal, dia ditemukan pingsan ditengah jalan, kemarin malam. Demi tuhan, apa yang sudah dia lakukan? Kenapa… kenapa… Justin terisak lagi sama sekali tidak membayangkan apa yang telah dia lakukan.

          Cady sudah meninggal. Kata itu terus saja berkelebat dibenak Justin. Istrinya yang paling sempurna, sudah tidak ada. Pria itu menarik nafas panjang berusaha untuk mengatasi emosinya, berusaha mengendalikan dirinya. Dia harus kuat, tidak boleh menangis. Pikirnya lagi. “Justin, aku temukan ini.. dikamar Cady”Ariana beranjak, wanita berambut tembaga itu melangkah menyentuh pundak Justin lembut. Pria itu tersentak, mengangkat wajahnya kemudian meneguk ludahnya hingga jakunnya terlihat naik turun melakukan gerakan peristaltik. Tangannya gemetar, permukaan telapak tangannya memucat saat mengambil amplop ditangan Ariana.

          Justin mengusap air matanya, kembali membuka surat itu perlahan-lahan. Ada tulisan tangan Cady tertulis disana, untuk terakhir kalinya.


 Dear : Mine,



          Aku kira, setelah kau membaca surat ini. Aku sudah tidak ada lagi disisimu. Aku sudah menghilang, aku sudah tidak lagi berada dikehidupanmu. Kau tahu, terimakasih karena kau sudah menjadi suami paling sempurna dihidupku. Selamanya, kau selalu sempurna dimataku… aku bisa kuat hidup didunia ini, karenamu. Justin.
           terimakasih atas waktu 3 tahunmu bersamaku, kau bisa membuatku tersenyum, bahagia, dan tertawa disisimu. Terimakasih sudah mengizinkanku merasakan kenyamanan didalam pelukanmu, kau sudah memberiku waktu untuk menjadi seorang wanita yang mampu mengisi hari-hari dihidupmu walaupun aku tahu, aku tidak bisa menjalankan tugasku selayaknya seorang istri untukmu. Aku sangat tidak cocok hidup denganmu, kau terlalu sempurna untukku, Justin. Aku hanya seorang wanita bodoh penyakitan, yang selalu merepotkanmu, membuang waktumu untuk mengurusku, maafkan aku.

          Justin, terimakasih atas cintamu. Terimakasih untuk semuanya, selamanya aku tidak akan pernah bisa melupakanmu dari benakku. Kau yang sempurna, kau yang terbaik untukku. Aku bahagia, kau bisa menikah dengan Ariana. Kalian sangat sempurna, sangat serasi. Aku bisa melihat kau mulai mencintai Ariana. Aku bahagia, walaupun sejujurnya aku menangis, aku cemburu, aku sakit melihatmu menciumnya. Kau tahu, kenapa kau tidak pernah lagi menyentuhku sejak bersama Ariana? apa kau sudah benci padaku? Kau kecewa padaku? Kau tidak suka pada wanita penyakitan, sepertiku? Kau tidak pernah lagi mencium keningku, kau tidak pernah lagi memelukku. Aku merindukan semua itu, Justin. tapi aku tidak berani mengatakannya padamu. Karena aku tahu, kau pantas untuk bahagia bersama Ariana.
          Aku merindukanmu, sungguh. Terimakasih sudah menjadi penyemangat hidupku, aku tidak akan pernah bisa melupakanmu.. selamanya, sampai kapanpun. Dan, jangan pernah lupakan aku dari dalam hatimu. Walaupun aku bukan wanita yang sempurna tapi aku sudah berusaha untuk menjadi istri terbaik untukmu.


Lots of love,

Cady Bumer.

          Justin menggeleng cepat, kelewat cepat untuk mencekal semuanya. Tidak, tidak mungkin. Tidak, tidak mungkin. Tidak boleh. Cady tidak boleh mati. Pria itu menangis kemudian beringsut memeluk pusara Cady erat-erat. Istrinya, telah tiada.
 --------------


join with my twitter : https://twitter.com/comeput_soon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar